[caption id="attachment_165658" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Sore hari menyeruput teh manis hangat, sambil menikmati tulisan-tulisan baru yang di-posting ke Kompasiana. Angin di luar beranda terlihat kencang mengayun dahan pepohonan dan daunnya ramai gemerisik. Sebuah pertanda akan hujan lebat di hari pertama tahun baru Cina hari ini. Dan sebuah tulisan berbingkai HL tentang "sastra dan dunia maya" menggelitikku untuk ikut berkomentar. Ya, benar sekali apa yang dituliskannya. Dunia maya telah membuka sebuah ruang baru bagi para penggiat sastra (jika sebutan "sastrawan" terdengar terlalu agung bagimu) untuk berkreasi. Sebuah ruang yang seakan melenyapkan dinding-dinding waktu dan mendekatkan jarak geografis. Mereka yang memiliki kecintaan yang sama terhadap sastra kini bisa "berjumpa", "berkumpul" dan saling bertukar karya..kapanpun mereka mau, dari manapun mereka tinggal. Di Kompasiana saja ada beberapa komunitas penggiat sastra, yang anggotanya berasal dari penjuru negeri bahkan dari sudut-sudut benua. Dunia maya mendekatkan mereka, merekatkan kecintaan mereka..ke dalam sebuah sfera seluas bola dunia namun pada saat yang sama memadatkannya menjadi sebuah titik yang meniadakan jarak. Namun setiap media memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Yang musti dipahami oleh penggunanya. Di dalam dunia maya, fenomena berkelebatan dalam hitungan detik dan dengan demikian pula makna yang melintas di depan kita. Kita tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk menyematkan makna dari setiap peristiwa yang seperti lari berkelebat itu. Ketika kita baru saja siap menghayati rasa duka cita atas kepedihan gempa, dengan cepatnya kita "dipaksa" untuk berkalkulasi soal untung-rugi sebagai dampak krisis keuangan Eropa. Ketika kita baru mulai bisa merasakan kemegahan Royal Wedding di Keraton Yogyakarta, dengan segera kita "dipaksa" untuk bergabung dengan perasaan gamang ketika menyaksikan tewasnya Khadafi. Belum selesai kegamangan kita, kita sudah "dipaksa" lagi untuk meratapi tewasnya Simoncelli sang pembalap Moto GP. Semuanya berkelebat cepat! Dan dengan berjalannya waktu kita menjadi terbiasa untuk tidak berlama-lama mencari makna dari setiap peristiwa. Tak ada lagi duka yang terlalu lama, kematian hanya sekian detik mengiba. Tak ada lagi suka cita yang terlalu lama, pesta tahun baru hanya sekian detik tersisa manisnya. Lantas bagaimana nasib sastra di dunia maya? Dengan denyut dunia maya dalam birama cepat staccato itu, sastra mau tidak mau dan suka tidak suka dipaksa untuk menyesuaikan dirinya. Para penggiat sastra yang mengikuti berbagai workshop tentang cara menulis blog yang baik, terkejut dihadapkan kepada sebuah fakta....yang disampaikan bagaikan koor seragam oleh para instruktur yang mengamini satu hal yang sama: "nafas kita pendek!". Maksud mereka, bahwa menulis di dunia maya sangat dibatasi oleh words count. Tidak bisa berpanjang-panjang, jika tulisan kita ingin dibaca oleh warga dunia maya. Maka para "pakar" dunia maya itu kemudian mengajarkan teknik-teknik generik tentang bagaimana mengoptimalkan nafas pendek kita. Intinya adalah bagaimana secepat mungkin memikat pembaca dengan "nafas pendek" yang kita miliki. Sependek apa? Tujuh menit saja! Itulah yang dimiliki oleh sastra dunia maya untuk memperjuangkan "hidup-mati"-nya di tengah hantaman gelombang tsunami peristiwa dalam berita, jutaan kicauan, jibberish dan status updates dari detik ke detik. Berapa lama waktu yang kita luangkan untuk membaca satu tulisan? Apakah kita membacanya dengan perlahan dan meresapi maknanya? Atau hanya scanning? Atau malah langsung mengisi komentarnya dengan cepat sambil menebak-nebak isi tulisan tanpa membacanya? hehehe..:P Tujuh menit saja, yang dimiliki oleh sastra dunia maya untuk "menyelipkan" makna tentang kehidupan, keindahan, tentang kebijaksanaan, tentang hikmah, tentang cinta dan kasih sayang, tentang kewelasasihan dan persaudaraan. Di antara ribuan makna dan tanpa-makna yang saling berdesakan memperebutkan perhatian. Seberapapun lama proses mengolahnya, melalui jalan sunyi ataupun secepat kilatan cahaya, sastra dunia maya cuma punya tujuh menit saja untuk menghidangkannya. Tujuh menit untuk meletakkan benih-benih cahaya pencerahan ke dalam hati para pembacanya -warga dunia maya-. Yang kemudian diharapkan bisa melekat setelah tujuh menit berlalu, untuk terus tumbuh menjadi kecambah bagi pohon kemanusiaan... Tujuh menit kata, itulah sastra dunia maya... .. Selamat Tahun Baru....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H