Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Misteri] Malam Kudus

24 Desember 2011   14:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:48 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.

“Tambah lauknya, Nduk…..”, Ibu mendekatkan sepiring buntil teri ke arahku. Wanginya buntalan daun singkong tercium bercampur kuah bumbu rempah. Dan mulutku masih penuh dijejali sesuap nasi, gudeg dan krecek buatan Ibu. Masakan yang paling kucinta setiap kali aku pulang ke rumah. Seperti di malam ini. Yang Ibu masak dengan tangannya sendiri, khusus untukku puteri Ibu satu-satunya yang pulang dari jauh ini. Yang kini terhidang memenuhi meja kayu, lengkap dengan kilau lingkung ayam dan aroma manis bacem tahu. Aku makan dengan lahap seperti kelaparan, seakan berhari-hari tak menyentuh makanan. Ibu tersenyum melihatku begitu.

Malam menjalar semakin dalam. Kami berdua duduk di beranda, dan kurebahkan kepalaku di dadanya. Ibu masih dengan jarik lawasan dan kebaya berbalutan baju hangatnya. Kupeluk pinggang Ibu, kupejamkan mata dan menghanyutkan diri ke dalam naik-turun nafasnya. Seakan mendengar kidung “tak lelo lelo lelo ledung”, yang dulu selalu Ibu nyanyikan untuk membuatku terlelap di gendongan.

Kupeluk Ibu semakin erat. Di rumah ini hanya tinggal Ibu, menjalani hari-hari tuanya seorang diri. Dan lampu tembaga yang menggantung di langit-langit beranda tak cukup terang menemani. Namun di malam ini ada aku, Ibu. Di malam keduapuluhlima di bulan penghujung tahun seperti ini, aku selalu pulang untuk menjumpaimu. Membawa kembali ke pangkuanmu semua kenangan manis masa-masa kecilku. Ketika langkah kecilku masih tertatih satu-satu dituntun Ibu. Ketika aku berlari kesana-kemari sambil menjerit-jerit bahagia, dan Ibu mengejarku dalam tawa. Semoga semuanya itu bisa mengisi kembali hati Ibu dengan keindahan kehidupan. Semoga bisa menguatkan hati untuk terus menjalani hari-harimu…

“Sudah larut malam, Nduk…Terima kasih sudah nengok Ibu..”

Ibu mengusap lembut kepalaku dan mencium rambutku. Aku mengangkat kepala dan melihat senyum di wajah sepuhnya. Aku bahagia melihat Ibu bahagia. Meski hanya sejenak aku bisa menemanimu, Ibu… hanya di satu malam seperti ini. Pada setiap malam keduapuluhlima di setiap bulan penghujung tahun seperti ini. Di mana banyak mukjizat kasih diizinkanNya untuk terjadi, yang membawaku pulang menjengukmu Ibu. Sejak engkau mengantar ke pusaraku tiga tahun lalu…

..

Malam Kudus.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun