Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[mirror] Pulang...

15 Desember 2011   09:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:14 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roda pesawat baru saja menyentuh landasan dan mencoba mencengkeramnya dalam decit panjang. Namun pengeras suara sudah bergegas mengumumkan bahwa pesawat terakhir dari Jakarta telah datang. Memang sudah malam dan hujan rintik mencumbui sejak selepas petang. Para penjemput yang lelah berdesakan menjejali pintu keluar klaim bagasi, tak sabar mencari-cari wajah yang dinanti. Begitupula aku yang menanti wajahmu muncul dari balik pintu itu. Wajah yang selama ini membayang pada enam puluh purnama. Wajah yang sudah menggoreskan banyak kerinduan. Sejak engkau memutuskan untuk mengejar mimpi-mimpimu, jauh menyeberang samudera dan melepaskan kisah kita. Wajah yang menjelma puisi duka pada setiap pagiku di kota ini...

Ah..itu dirimu! Keindahan dalam balutan hitam dan baju hangat rajutan warna malam. Wajahmu masih bidadari, senyum yang pualam dan mata embun pagi. Wajahmu sedikit pucat, matamu sembab, mungkin karena matamu kelelahan. Aku melambaikan tangan dan berlari memelukmu dalam sekali. Mencoba menyatukan hatimu denganku. Kekasih, betapa aku sudah lama menunggumu…

Hujan rintik. Taksi melesat membelah kota, di bawah siraman butir hujan yang berkilauan karena pendar lampu jalan. Di perempatan depan, Tugu temaram. Hanya diam dan kuraih tanganmu kugenggam. Kupandangi wajah indahmu yang dibingkai rambut tergerai. Lelah sejenak engkau terpejam dan bibirku menyentuh kelopak matamu dalam kelembutan seperti malam.

Kekasih,...tahukah engkau bagaimana aku telah menunggumu dalam beribu waktu? Hingga aku tak tahu lagi bagaimana aku bisa bertahan tanpamu. Dua hari lalu aku bahkan tak sanggup lagi menahan kehampaan ini. Aku jatuh dan tak kuinginkan apapun lagi dari hidup ini. Mereka melarikanku ke Bethesda dengan mulutku penuh busa. Mereka menangis memanggil-manggil namaku, tapi aku benar-benar tak melihat satu alasan untuk kembali jika tanpa kehadiranmu….

...

Kukecup keningmu. Berharap kau bisa rasakan hadirku menjemputmu, menemanimu. Dan sebutir air mata jatuh bergulir di pipi indah itu...

“Selamat datang, kekasih…terima kasih telah pulang ..…”

...

Jogja ketika purnama. Foto koleksi pribadi...

Janu Dewandaru, No: 99

NB: Karya peserta lain bisa dinikmati di CINTA FIKSI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun