Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suluk Sampan (3)

23 November 2009   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa kali warna dedaunan telah berganti di sepanjang bantaran sungai yang dilalui. Sepanjang itu pula sampan kecil mengarus mengikuti kemana sungai membawanya pergi. Terkadang ia melewati kota-kota penuh air mata, di mana hanya ada kedukaan menyelimuti. Mendung seakan tak pernah hilang memayungi kota, dan hujan bercampur air mata tumpah ke dalam sungai. Sampan kecil sesungguhnya telah berusaha menghindari namun aruslah yang memaksanya tuk melewati. Dan ia tak punya kendali ketika sungai mendorongnya memasuki sisinya yang suram. Duh...air di sisi sungai yang ini betapa sangat kentalnya dengan duka. Berat sekali rasanya ia menggerakkan tubuh. Berat sekali beban ini menahan gerak maju. Hanya sejari demi sejari, dan waktu seakan meninggalkannya sendiri… Terkadang ia melewati kota-kota penuh bahagia, di mana keceriaan mewarnai sudut-sudut kota dan langit bertaburan gemerlap siang malamnya. Hanya ceria dan tawa. Lantunan lagu dan musik yang semarak tak henti mengisi udara. Semuanya terasa ringan. Anak-anak dengan kaki kecilnya berlarian di sepanjang bantaran menyoraki sampan dengan celoteh dan teriakan keriangan. Ah…betapa ringan sampan melaju seakan meluncur di atas permukaan minyak yang licin. Tanpa susah payah menggerakkan tubuhpun, ia melaju ringan seperti terbang… Dan demikian bergantian kota duka dan tawa dijumpainya. Setiap kali mendekati kota duka, ia berusaha membelokkan diri menjauh darinya. Tapi arus demikian kuat mendorongnya dan memaksanya masuk ke dalam kubangan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Hanya menyerah dan menjalani. Dan setiap kali melewati kota penuh bahagia, ia berusaha berhenti tuk sekedar singgah sejenak dan menikmati. Tapi sekali lagi arus demikian kuat mendorongnya dan memaksanya tuk terus melaju. Tak ada lagi yang bisa diperdebatkan selain diam menyerah. "Lantas dimanakah 'kehendak' ?...Bukankah 'ikhtiar' menjadi sebuah kata semu untuk kodrat?..sehingga kita sesungguhnya adalah tiada?..", tanya sampan kecil kepada sungai, yang kepadanya ia telah menyerahkan arah pengembaraannya. Sungai memecah diamnya. Setelah sekian lama ia dalam diam menuntun sampan kecil mengikuti setiap kelokan dan terjunan, membenturkannya ke kanan dan ke kiri, memaksanya berhenti diam ke dalam kubangan, mendorongnya, menahannya, menariknya, mengirimkan gelombang yang membolak-baliknya.. "Aku telah menuntunmu dengan benda-benda untuk menerima datangnya isyarat dan ilmu. Inilah petunjuk yang mengawali serangkaian tuntunan rahasiaNya, Ia berkenan menyingkapkan bershaf-shaf tirai misteri atas kesungguhan sebuah ikhtiar yang terus-menerus guna mendekat, dan ingin senantiasa dekat denganNya... apa yang akan kukatakan adalah sebuah rahasia kehidupan. Simak dan dengarkan. Hati-hati…betapa jauh jarak antara mengetahui dan mengerti. Betapa lebih jauh jarak antara mengerti dan memahami. Dan lebih jauh lagi jarak membentang antara memahami…dan memiliki. Jangan takabur dan bangga dengan kekuatan akalmu. Apa yang akan kau dengar sekarang adalah untuk kau mengetahui. Untuk menjadi mengerti…kemudian memahami…apalagi memiliki….masih sangat jauh perjalanan yang harus kau lalui. Untuk memiliki hakekatnya ilmu, kau harus merasakan dulu sakitnya perjalanan, pedih-perihnya, hancur-leburnya, patah-pecahnya dirimu!..” Sampan kecil diam terpana. Sebuah rahasia akan didengarnya. Sebuah rahasia yang mungkin akan menjadi jawaban atas semua kegelisahannya. Membuka kegelapan masa depannya, dan mengantarnya ke tujuan pengembaraannya. Tak sabar tapi juga khawatir ia, sanggupkah ia menerima anugerah ilmu terbesar sepanjang hidupnya? Akan kah ia bisa memahami? Sungai menghentikan gerak dan arus membeku. Tak ada gelombang. Bahkan tak ada riak di permukaan. Hanya sampan kecil dan sungai yang membisikkan….“Dengarkan ini….” “Kehendak adalah momentum tercetusnya cipta yang letusannya menggetarkan kalbu: hadirkan sesuatu dorongan/ rasa keinginannya menjemput sesuatu perubahan terjadi sebagai proses-kesinambungan menjadi kesempurnaan... yg akan terwujud sebagaimana kodratNya, atas iradatNya juga.Sebagai kata ungkap, 'ikhtiar', boleh saja disebut 'nama semu' bagi kodrati yang lantas terjadi tadi. Tetapi tidaklah semu dalam upaya-upaya menempuhnya! Dituntut kesungguhan yang nyata-nyata dilakukan: dengan badannya, pikirannya, dengan segenap perasaannya dalam mewujudkan niat dan hasrat hati, seiring berjalannya waktu dan segala perubahannya.Nah,.. disitulah pemaknaannya. Sama halnya, syariat telah ditetapkan diwajibkan, 'syahadat tauhid dan syahadat rasul' kajiannya. Tarekat kurun pengembaraan pencarian keluasan/kedalaman pemahaman atas syareat dan memperteguh takwa dan keimanan. Hakekat rentang masa 'ngawula Gusti', mempusakai kebenaran-kebenaran hakiki yang menghidupkan keyakinan kita tadi, syahadatnya meningkat jadi 'syahadat wangi', paska jenjang itu, menggapai makrifat Islam: syahadatnya 'syahadat jati'.'hakekat ilmu', akan tumbuh menjadi 'ilmu-hakekat', yang hidup bersama kesejatian-hidup, ... 'Raga sejati', 'Rasa sejati', 'Suksma Sejati' ...! Sampan kecil hanya diam. Kata demi kata seakan menenggelamkan dirinya dalam sebuah samudera yang maha dalam. Tak lagi ia bisa lihat dirinya. Ia telah sirna, hilang menyatu dengan air lautan. Di dalam lautan, butiran air menghilang lenyap menyatu dalam keseluruhan…. "Ketika hati telah tercerahkan, ketika nurani menjadi kemudi. Jika aku adalah AKU, bukankah iradat adalah juga kodrat? 'Tiada aku selain AKU', karena semua yang kutulis adalah kodratKU,.. yang menulis.. tangan, gerak, gagasan, ilham,... adalah kodratNya semata" "Bershaf-shaf tabir misteri menyelumuri atas adaKU pada keberadaanku, di mana puncak kesadaran iman dan kemurnian tauhidKU meng-AKU 'Tiada Allah selain AKU'. Melalui hati yang berhati 'Hati', Ia pun berkata, 'hananira Hananing Sun, wujudira Wujuding Sun, Sawiji-wiji dadi saka karsaningsun,mahanani-maujud saka Pangwasaning Sun..'. .. Senèn Kliwon, 5 Besar 1942 Jé

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun