"Gangguan bukan pada pesawat televisi Anda", begitu bunyi keterangan yang sering muncul pada siaran TVRI jaman dulu. Masa beralih dan ada banyak stasiun televisi baru, namun kaimatnya telah berganti 'lebih jujur' ketika ada sekelumit permasalahan teknis terkait di belakang layar dari siaran yang mengudara. Bagaimana suatu poin yang ada bisa mempengaruhi kelancaran siaran.
Mungkin, para staf di belakang layar zaman dulu berpikir bahwa khalayak umum tidak perlu mengetahui permasalahan teknis yang begitu peliknya terkait seputar siaran. "Biarlah hal di belakang layar bagian gue." Mungkin begitu. Mungkin lho ya. Saya bukan ahli nujum. Karena kadang beberapa hal menjadi terlalu njelimet untuk dijabarkan dan penontonnya pun kebanyakan para awam yang kurang mengetahui dunia broadcasting.
Atau mungkin juga sengaja dirahasiakan menyangkut perangkat penyedia siaran yang memang kurang mumpuni terkait anggaran terbatas. Berbeda dengan siaran televisi swasta yang didanai oleh iklan dan dengan modal yang lebih kuat. "Error mulu tayangannya, kami lho enggak. Perangkat kami lebih kinclong". Mungkin begitu pikirnya. Mungkin lho ya. Saya bukan ahli nujum. #halah kalimatnya copas dari paragraf atas biar artikelnya kelihatan panjang#. Dan karena itu pula mereka lebih pede untuk men-jelentreh-kan (menjelaskan hingga sejelasnya atau menjelaskan hingga setengah mati) apa penyebab error pada siaran mereka sekaligus menjadi pembelajaran publik.
Tapi 'hal teknis' ini bukan hanya ada pada cakupan siaran tertentu. Di bidang yang lebih 'merakyat' (maksudnya lebih sering bersinggungan dengan masyarakat luas), ada banyak hal teknis yang mengganggu kelancaran sesuatunya juga. "Oh ini rantainya kendor mas, jadi perlu dimundurkan as belakangnya biar kenceng lagi dan nggak bikin tergeser dan lepas". "Enak aja panggil mas, saya ini cewek lho". "Oh maaf mbak. Soalnya nganu..."
Kutipan berikutnya tentang salah nganu antara tukang bengkel dan mbak² yang ganteng tadi mungkin kurang elok untuk dibahas.
Namun memang ada beberapa poin yang mungkin publik perlu tahu tentang sesuatu untuk menghindari prasangka atau kesalahpahaman tentang sebuah hal yang tengah terganggu atau tidak berjalan semestinya menyangkut keseharian mereka. Dan menurut hemat saya, sedikit penjabaran tentang 'hal teknis' tak mengapalah; karena terkadang (atau sering) ketidaktahuan semacam ini dapat berujung pada tindakan menghakimi atau menyalahkan secara sepihak sebuah instansi atau seseorang atau pihak lainnya; jadi buru-buru mencap buruk sesuatu hanya berdasar penilaian satu sisi.
Mundur lagi ke belakang, di media Kompasiana ini sering juga mengalami error saat peralihan dari format desktop ke format yang lebih ramah ponsel. Berlanjut lagi saat integrasi satu akun Kompasiana dengan Kompas dan lainnya. Sementara para punggawa sistem berjibaku dengan kerumitan yang saya pun tak tahu bagaimana; di luaran sistem para penulis yang siap tempur dengan segudang ide di kepala mendadak loyo karena merasa mampet, buntu, dan membentur tembok disebabkan perkara teknis 'belakang layar' lalu ngedumel bak merasa terzalimi.
Sebagian masih bertahan pasca error meminggu tersebut (saya merasa ganjil dengan istilah meminggu ini padahal ada istilah menahun yang artinya bertahun-tahun. Saya juga belum mengecek KBBI apakah sudah ada sebelumnya), sebagian bergabung dengan blog keroyokan lain, sebagian pindah media ke blog sendiri dan beberapa tidak lagi diketahui rimbanya oleh member Kompasiana lainnya.
Tidak tahu dia, kadang media lain dan media sendiri dengan mesin wordpress, joomla atau blogspot dan lain sebagainya pun bisa error juga. Hingga sekarang, ada banyak potensi ketidaksinkronan antara plugin, template dan lainnya. Dan karena para end-user tidak tahu bagaimana rumitnya membangun web meskipun hanya tinggal instal CMS dan pasang plugins atau template, maka dipikirnya sebuah sistem yang telah berjalan pun tidak perlu maintenance atau pembaruan disebabkan sebuah lubang atau celah keamanan bisa rawan dieksploitasi peretas.
Saat saya masih bekerja di sebuah digital printing, seorang staf Puskesmas berujar menggampangkan: "alah paling nge-print banner gitu satu jam selesai."
Sebelum bilang gitu, mbokyao dilihat dulu ini tempat printing sedang sepi atau nggak. Jika sedang ramai dengan banyak konsumen, file yang dikau kirim untuk segera dicetak pun bisa tertunda besok atau lusa karena antrian. Dipikir mesin dan pegawai pun tak perlu istirahat apa? Apalagi jumlah pegawai minimalis karena si bos yang perlu untung lebih besar pun malah menyebabkan kerunyaman tersendiri: karyawan mengerjakan banyak sekali pekerjaan sehingga sulit dicari siapa yang paling bertanggungjawab terhadap hasil akhir yang diterima oleh konsumen. Karena masing-masingnya lupa saking banyaknya.
Jika sedang sepi ditunggu pun bisa.Â
Dan bulan lalu saya juga mendapati hasil cetakan brosur yang lebih gelap dari semestinya. Di dunia percetakan offset, ada keharusan menaruh cross dan gradasi warna pada masing² warna tinta untuk mengetahui jenjang warna 10-100%. Dari sini bisa diketahui bahwa kadang warna bisa over atau berlebih dan perlu di-adjust di mesinnya untuk mendapat hasil cetak yang diharapkan. Disinilah peran operator mesin cetak offset yang lebih krusial dibanding operator digital printing. Mereka yang tahu bagaimana runtutan kerja begini mungkin bisa komplain pada orang yang tepat, dan seorang desainer hanya bertugas merancang apa yang dapat dilihat sebagai preview untuk konsumennya, bukan ranahnya mengutak-atik mesin cetak dengan output brosur tadi. Berbeda halnya jika desainer meneruskan komplain konsumen tadi ke pihak percetakan supaya ditindaklanjuti.
Marketing adalah dunia yang butuh pemahaman tentang produk dengan sedetailnya di awal. Tak hanya produk sendiri, kadang juga produk kompetitor karena konsumen suka membandingkan. Tapi terutama memang lebih diutamakan tentang product knowledge dari apa yang akan kita jual.Â
Seorang leader bersikukuh untuk mengulang-ngulang apa yang sudah disampaikan di awal. Alasannya, jika banyak menerima materi yang baru akan 'pecah kepala' untuk mencerna. Saya pikir, dijelaskan dengan sejelasnya di 4 hari pertama mungkin agak menolong bawahannya untuk menggaet konsumen. Karena penerimaan dan daya tangkap marketer tidak sama, namun ada yang lebih butuh wawasan baru ketimbang materi yang itu-itu saja. Praktis, saya baru memperoleh hal baru 2 minggu setelahnya. Dimana saya kehabisan modal (baca: uang makan dan transport) dan memutuskan resign, sementara pemikiran saya konsumen juga butuh edukasi secara tidak langsung (karena sebagai tenaga marketing sebuah pialang kan harus punya skill pakem memanfaatkan laju candlestick supaya tidak loss), lebih agar mereka tertarik.
Di lain tempat, saya juga malah pingin misuh-misuh dengan manajer marketing (tapi otaknya entah dipakai atau tidak). Dia (saya malas pake kata 'beliau-beliauan' buat seseorang yang entah) menggampangkan juga ketika saya tanya tentang spesifikasi komputer yang harus dipersiapkan guna menyunting video atau apapun untuk promosi tempat kerja. Saya bilang dia tidak tau apapun soal perangkat.
Gampang kok mas, nggak perlu desain yang wah. Pokoknya pesan tersampaikan. Sebelumnya, si bos bilang jika gaji saya bisa dipending jika saya tak bisa mendapat siswa terkait posisi saya sebagai digital marketing. Ternyata setelah saya menyanggupi untuk kerja disitu komputer laptop pun harus modal sendiri. Dan saat itu pas berat dan lemot entah mengapa. Beberapa waktu pasca saya hengkang dari situ baru ketahuan komponen yang error adalah VGA Card-nya.
Seorang rekan kerja menasihati saya jika macbook-nya selalu diinstal ulang tiap tahun untuk menjaga kondisinya. Rupanya dia lupa juga bahwa komputer itu terdiri dari hardware selain software. Ketika komponen hardware bermasalah, solusinya pun bukan menginstal ulang (karena meski 1000x pun tak akan berhasil) tapi harus mengganti komponen hardware. Dan harus beli.
Tau gitu kemarin mestinya ngomong komputer harus punya sendiri. Jadi saya pun tak perlu masuk ke sana karena di saat yang bersamaan ada panggilan interview di tempat lain.
Komputer kantor teronggok hanya satu, RAM hanya 2GB untuk dibuat video editing. Sedangkan tenaga digital marketing-nya sendiri ada 4 orang. Masa komputer 1 harus digunakan gantian oleh 4 orang? Bagaimana kerja simultan di depan media sosial jika komputer saja harus gantian? Sistem pada PC berbeda dengan ponsel dan kebutuhan untuk lebih besar.
Lagipula, sesederhananya spesifikasi PC untuk editing video, RAM komputer yang diperlukan untuk kerja cepat mungkin sekitar 8GB sesuai standar masa kini. Itu pun masih harus dibagi dengan sistem operasi dan berbagai pernik software yang berjalan di latar belakang macam firewall, pengelola sumber daya, antivirus dan lain-lain.
Besaran gaji yang dia bilang pun serasa nggedabrus belaka jika melihat gaya bicaranya. Masa katanya perusahaan dengan gaji besar tapi komputer yang dipunyai untuk penunjang kerja saja gurem? Semua marketer mungkin memang harus pintar ngomong kan ya, terlepas dari bobroknya sistem yang dia pegang. Bagaimana tidak ketir-ketir jika saya tidak bisa membuat sesuatu atau memprospek calon siswa atau orangtua siswa (karena pendapatan saya pun dari situ) dan terhenyak karena berbagai materi pun baru dirapatkan dan dibagi seminggu kemudian? Itu pun materi brosur yang katanya jadi beberapa hari pun tak juga siap. Saya pikir itu brosur lama untuk sekadar saya jalan keliling dan beroleh komisi untuk seminggu itu tapi ternyata hanya rencana brosur untuk program yang masih berjalan 2 bulan lagi. Belum lagi kesiapan lain-lain macam surat izin untuk memasuki sekolah (demi memasang poster). Padahal saya kerja pun diburu untuk membuat poster dan lain sebagainya supaya segera dieksekusi. Singkatnya, saya segera hengkang dari situ karena tidak seperti yang saya perkirakan. Plus kehilangan kesempatan kerja di perusahaan lain yang lebih baik pada saat bersamaan. Jadi saya kerja seminggu begitu pun tidak dibayar.
Sudah beberapa kali saya masuk perusahaan yang ternyata adalah gombal begini.
Singkatnya, ada banyak orang hidup dengan pemikiran dan memoles cara bicara mereka tanpa peduli sudut pandang lainnya, mengira orang lain pun setuju dengan pemikiran mereka. Meski kita tak harus mengerti tentang banyak hal, memahami posisi dan alasan di balik tindakan seseorang pun cukuplah. Mungkin saya dan kita semua mesti memperluas wawasan supaya dapat menimbang untuk menghargai diri sendiri dan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H