Besaran gaji yang dia bilang pun serasa nggedabrus belaka jika melihat gaya bicaranya. Masa katanya perusahaan dengan gaji besar tapi komputer yang dipunyai untuk penunjang kerja saja gurem? Semua marketer mungkin memang harus pintar ngomong kan ya, terlepas dari bobroknya sistem yang dia pegang. Bagaimana tidak ketir-ketir jika saya tidak bisa membuat sesuatu atau memprospek calon siswa atau orangtua siswa (karena pendapatan saya pun dari situ) dan terhenyak karena berbagai materi pun baru dirapatkan dan dibagi seminggu kemudian? Itu pun materi brosur yang katanya jadi beberapa hari pun tak juga siap. Saya pikir itu brosur lama untuk sekadar saya jalan keliling dan beroleh komisi untuk seminggu itu tapi ternyata hanya rencana brosur untuk program yang masih berjalan 2 bulan lagi. Belum lagi kesiapan lain-lain macam surat izin untuk memasuki sekolah (demi memasang poster). Padahal saya kerja pun diburu untuk membuat poster dan lain sebagainya supaya segera dieksekusi. Singkatnya, saya segera hengkang dari situ karena tidak seperti yang saya perkirakan. Plus kehilangan kesempatan kerja di perusahaan lain yang lebih baik pada saat bersamaan. Jadi saya kerja seminggu begitu pun tidak dibayar.
Sudah beberapa kali saya masuk perusahaan yang ternyata adalah gombal begini.
Singkatnya, ada banyak orang hidup dengan pemikiran dan memoles cara bicara mereka tanpa peduli sudut pandang lainnya, mengira orang lain pun setuju dengan pemikiran mereka. Meski kita tak harus mengerti tentang banyak hal, memahami posisi dan alasan di balik tindakan seseorang pun cukuplah. Mungkin saya dan kita semua mesti memperluas wawasan supaya dapat menimbang untuk menghargai diri sendiri dan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H