Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Skenario Salah" yang Mungkin Terjadi Jika Vaksin Tak Ada

15 Desember 2020   00:16 Diperbarui: 15 Desember 2020   04:22 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Labirin.Sumber Ilustrasi: Pixabay

Sedangkan perusahaan tetap membutuhkan biaya operasional. Demi efisiensi, mereka terpaksa merumahkan sebagian pekerja. Ada yang masih bekerja tapi bekerjanya dari rumah. Beberapa yang lain harus melatih kesabaran lewat PHK.

Wabah telah menggeser tempat bekerja dari kantor pindah ke rumah. Termasuk lembaga pendidikan seperti universitas dan sekolah.

Kegiatan belajar di sekolah diganti menjadi belajar di rumah. Guru mengajar dari rumah. Siswa belajar dari rumah. Awalnya, anak -- anak senang dengan itu. Mereka bisa mengerjakan tugas lebih sedikit dan bermain lebih banyak. Orangtua pun mengurangi uang jajan mereka.

Namun, tidak belajar di sekolah diganti dengan pembelajaran jarak jauh yang masih beradaptasi. Banyak orangtua kurang terbiasa menggunakannya. Mereka belajar lagi dari awal, sementara anak -- anak lebih sering bermain dengan dunianya sendiri.

Karena belajarnya di rumah, banyak anak begadang saat malam hari. Alasannya besok tidak perlu bangun pagi untuk ke sekolah. Mereka menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan bermain game. Aktivitas itu yang dilakukan selama di rumah saja.

Sementara mau liburan tidak bisa. Berkumpul dengan teman -- teman di warung kopi tidak bisa. Yang bisa dilakukan hanya video call dengan mereka. Jalan -- jalan juga hanya bisa secara virtual. Belanja pun online. Dunia kini hanya sebatas layar. Menatap layar terus -- terusan selama di rumah membuat orang -- orang bosan.

Bosan Melanda
Rasa bosan yang terus datang membuat otak tertekan. Tekanan tidak hanya datang dari dunia yang belum sembuh dari wabah. Tapi juga datang dari dalam diri.

Hidup terasa sempit. Apa -- apa serba terbatas. Mau begini tidak bisa. Mau begitu tidak bisa. Gairah hidup tinggal sedikit. Bahkan ada yang sudah tak peduli akan hidup dan mati. Keputusasaan menghinggapi orang -- orang.

Orang -- orang yang kekurangan harapan menjadi hidup enggan, mati pun tak eman. Banyak orang tampak hidup namun aslinya sudah mati.

Wabah telah merusak semuanya. Semua yang tampak dihancurkan oleh yang tak tampak. Pasrah dan menyerah itu tidak enak, tapi hanya itulah sisa pilihan. Sambil terus menjalani hidup yang tidak pasti, banyak orang mulai bertanya, "Kapan vaksin tiba?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun