Dulu saat kawan menggendong bayi, rasanya ingin menimang anak juga. Melahirkan, membesarkan, dan mengajarinya ini dan itu. Dan jangan lupa saat bermain dengannya, rasanya dunia begitu indah. Tak akan kulepas anak ini, bahkan nyawa pun rela berkorban demi sang anak.
Sampai anak masuk sekolah, tumbuh dan punya banyak teman bermain. Hingga ia susah diatur. Bahkan tak jarang juga melawan. Keindahan masa kecil dulu berkurang, digeser dengan pertentangan dan pemberontakan. Si anak telah punya dunianya sendiri. Berkah telah menjadi beban.
Lucunya, orangtua masih memiliki tanggungjawab untuk membimbing anak. Orangtua harus memberi uang jajan mereka, menyekolahkan mereka, dan mencarikan mereka pekerjaan. Semuanya demi kebaikan anak. Sementara, yang dikasih kebaikan kadang malah tidak mau nurut omongan yang membesarkannya.
Drama Rumah Tangga
Rumah tangga bukan persoalan sepele. Rumah tangga mengizinkan banyak orang untuk berdrama dengan belahan jiwa dan darah daging mereka. Kadang drama ditambah dengan kehadiran orangtua.
Orangtua kandung atau orangtua mertua sama saja. Sama -- sama orangtua yang telah membesarkan generasi sandwich saat kecil. Begitu dewasa dan berperan sebagai orangtua, maka tahulah mereka bagaimana rasanya menjadi orangtua.
Karena tahu menjadi orangtua tidak mudah, maka generasi sandwich bersimpati atas jerih payah orangtuanya. Mereka ingin membalas kebaikan ayah dan ibunya. Namun tentu saja, keinginan mulia itu menemui banyak kesulitan.
Banyak tantangan yang mengharuskan generasi sandwich berjuang demi membahagiakan orangtua. Mereka harus bekerja keras agar setidaknya mampu memberi sedikit uang kepada orangtuanya. Mereka juga perlu menyediakan sedikit waktu ngobrol dengan ayah ibunya di tengah kesibukan mengurus anak.
Belum lagi ditambah urusan pekerjaan. Dari bangun tidur mereka sudah dibuat repot oleh pekerjaan hari itu. Saat mau tidur pun kadang masih memikirkan hari esok mesti bagaimana.
Mengurus anak, menemani orangtua, ditambah menjaga diri tetap waras menjadi makanan mereka setiap hari. Semua itu memaksa mereka terjepit, bikin dada sesak, dan kesulitan bernapas. Bagaikan sepotong sandwich yang digencet dan siap dimakan.
Siklus Alami
Rupanya hal itu tidak dirasakan mereka saja. Tapi juga dirasakan orangtua mereka, dan orangtua dari orangtuanya mereka. Intinya mereka tidak sendirian, karena hampir semuanya pernah merasakannya. Dan mungkin anak mereka juga akan merasakannya kelak. Karena memang begitulah siklusnya.
Berusaha untuk memotong siklus itu bukanlah solusi. Malah bisa berujung menambah derita. Maka dari itu, mengizinkan siklus itu datang mungkin salah satu hal yang bisa dilakukan.
Di film Shawshank Redemption, seorang Andy dipenjara padahal ia tidak salah. Di penjara, ia dimusuhi dan dipukuli oleh napi lain. Bahkan petugas penjara pun memanfaatkan dia demi keuntungan mereka. Kadang Andy tidak terima dan kadang putus asa. Namun ia tahu bahwa ia tak punya pilihan lain.
Saat ditanya oleh seorang temannya, kenapa Andy bisa dipenjara selama puluhan tahun padahal ia tak pernah salah, ia menjawab, "Putaran takdir, kurasa."
Memperbolehkan takdir buruk untuk lewat, kadang bisa memangkas lamanya waktu sengsara. Semakin cepat menyambut rasa tidak nyaman itu, semakin cepat pula ia akan beralih.
Seperti matahari yang terbit jam 6 pagi, dan tenggelam jam 6 sore. Hidup semakin terasa berat kalau orang menunda matahari terbit. Pun akan banyak kecewa jika dia menahan matahari tenggelam. Namun hidup akan lebih ringan kalau orang mempersilahkan siklus berjalan sesuai dengan kehendaknya. Konflik akan jarang, kebahagiaan akan sering mampir.
Di Okinawa, seorang murid karate merasa marah setelah melihat tentara Amerika datang mengganggu. Ketika murid itu akan menantang mereka, sang guru karate muncul lalu menyapa para tentara, "Selamat datang di Jepang."
Berkat sambutan hangat itu, orang -- orang itu akhirnya tidak jadi perang. Mereka menggantinya dengan hari yang lebih bersahabat.
Genarasi sandwich yang terjepit antara anak dan orangtua, mungkin telah berjuang dan berkorban begitu banyak hingga kewalahan. Rasa lelah mungkin akan sedikit berkurang jika mereka tak memusuhi siklus takdir. Dan itu akan meringankan sedikit beban mereka sebagai tulang punggung keluarga. Jadi yang semula dilihat sebagai beban, bisa dipandang sebagai berkah kembali.
Kalau begitu, mungkinkah generasi sandwich bahagia di tengah derita? Mungkin saja, karena banyak lidah yang menyukai rasa sandwich, dan tanpa kehadiran mereka, lidah -- lidah itu akan merana dan mati rasa.
Yuk, jadi sandwich yang bermanfaat bagi banyak lidah yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H