Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Enggan "Nyoblos" tapi Demokratis, Kok Bisa?

10 Desember 2020   01:01 Diperbarui: 10 Desember 2020   01:51 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan kepada daerah atau disingkat Pilkada adalah salah satu cara mewujudkan demokrasi. Pemerintah memberi hak pilih kepada warga untuk ikut menentukan masa depan bangsa. Mereka diundang untuk datang ke TPS dan nyoblos.

"Namun tidak semua warga yang diundang. Anak kecil, lansia dan beberapa warga dengan ketidakmampuan tertentu tidak bisa menerima undangan nyoblos. Hanya warga yang sehat jasmani rohani serta memenuhi syarat lainnya yang menerima undangan. Jadi mereka terpilih untuk memilih. Istimewa."

Yang dilakukan warga terpilih tidak susah. Hanya datang ke TPS sambil membawa undangan dan KTP. Setelah itu dipanggil dan diberi surat suara untuk dicoblos. Lalu surat suara yang tercoblos dimasukkan ke kotak, maka selesai sudah. Tak repot, tak ribet.

Untuk lokasi TPS pun dipilih yang tidak jauh. Di rumah saya, TPS terletak hanya 10 meter di samping rumah saya. Untuk di daerah yang penduduknya lebih jarang, biasanya TPS diletakkan di lapangan atau balai desa. 

Namun tetap untuk menjangkau lokasi TPS tak perlu biaya mahal, bensin banyak, atau tiket perjalanan. TPS sengaja ditempatkan dekat dengan warga agar memudahkan pemilih dalam melaksanakan perannya.

Yang agak menarik adalah, dengan segala kemudahan yang ditawarkan itu, kenapa ada sebagian pemilih masih enggan untuk nyoblos?

Seperti dilansir oleh laman Kompas.com, data dari Komisi Pemilihan Umum menyatakan angka partisipasi pemilih cukup tinggi. Partisipasi masyarakat pada Pilpres 2014 adalah 70 persen. Untuk Pileg 2014 sebanyak 75 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019 meningkat menjadi 81 persen.

Data itu menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPU relatif tinggi. Namun tetap angka itu tidak sampai penuh 100 persen. Artinya ada sebagian pemilih yang memilih untuk tidak memilih.

Padahal kegiatan ini pun hanya dilakukan beberapa tahun sekali. Saya pikir mungkin ada beberapa alasan yang bisa jadi penyebabnya. Bukan untuk ditiru, namun untuk pengetahuan saja.

Alasan pertama. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah dengan menawarkan beberapa calon pemimpin. Jumlah calon biasanya ada dua atau tiga pasangan. Siapapun yang jadi nanti, pada akhirnya mereka tidak bekerja sendiri. Tapi dibantu oleh DPRD dan lembaga lain.

Karena itu, ada warga yang berpikir, pemimpin terpilih adalah wakil kepentingan orang banyak. Dan setiap calon mewakili kepentingan orang banyak. Jadi karena sama -- sama demi kepentingan umum, maka pemilih tak begitu mempermasalahkan siapa yang jadi. Maka dari itulah, nyoblos urung dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun