Sebagai penguasa negara adi kuasa, perhatian dunia tertuju ke pelantikan Donald Trump (78 tahun) sebagai Presiden Amerika pada hari Senen 20 Januari 2025, untuk periode 2025-2029.Â
Seperti ungkapan berbunyi "Jika Amerika bersin, seluruh dunia akan masuk angin", hingga hari ini masih diyakini banyak orang kebenarannya. Artinya, apapun yang terjadi di Amerika akan mempengaruhi nasib, atmosfir ekonomi dan geopolitik sebagian besar negara di dunia ini.
Pelantikan yang dilaksanakan di ruangan Rotunda, Gedung Capitol, menyedot perhatian bagi penghuni belahan dunia dimana pun berada, karena momen itu tidak dapat dipungkiri sebagai forum untuk mengetahui arah kebijakan pemerintahan Donald Trump ke depannya dan pengaruhnya terhadap tatanan dunia selanjutnya.
Jauh hari sebelum pelantikan, terpilihnya Donald Trump sudah ditanggapi dengan nada sinis oleh pengamat, dan beberapa pemimpin negara, dengan menyebut Donald Trump hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan menggucang tatanan dunia.
Kekhawatiran tersebut wajar mengemuka mengingat gaya kepemimpinan Donal Trump sebagai Presiden Amerika periode tahun 2017-2021 yang dirasakan relatif tidak baik, bukan hanya dampaknya terhadap negara lain, tetapi kondisi di dalam negeri Amerika Serikat juga menimbulkan banyak antipati, bahkan menimbulkan beberapa kritik pedas dari kalangan internal mereka sesama orang dalam Partai Republik.
Bagaikan menganut filosofi yang berbunyi " Seekor keledai pun tidak mampu terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya". Dalam berbagai kesempatan kampanye sebenarnya secara inplisit Donald Trump mengakui bahwa kondisi Amerika saat ini dan di era kepemimpinannya sebelumnya kondisi Amerika sesungguhnya tidak baik-baik saja.
Pengakuan tersebut juga diungkapkan Donald Trump sendiri sesaat setelah pelantikan. Dalam pidatonya perdananya Donald Trump mengatakan "Masa keemasan Amerika akan dimulai saat ini". Inti isi pidatonya ini selaras dengan tagline yang dipilihnya semasa kampanyenya berbunyi "Make Amerika Great Again".
Kemudian dalam pidato itu Donald Trump juga berbicara tentang arti penting meningkatkan jiwa patriotis Bangsa Amerika dengan mengingatkan sejarah kejayaan masa lalu Amerika sebagai bangsa terbesar dalam peradaban dunia.
Apa yang disampaikan oleh Donald Trump dapat dimaknai bahwa keberadaannya sebagai Presiden Amerika saat ini berniat untuk membangkitkan posisi Amerika kembali ke arah sebagai negara adikuasa yang berpengaruh terhadap dunia, terutama untuk meningkatkan perbaikan kesejahteraan rakyat Amerika Serikat sendiri.
Bahkan Donald Trump mengklaim bahwa momen pelantikannya disebut sebagai "Hari Pembebasan Amerika Serikat", dan menyampaikan obsesinya ingin dikenang sebagai pencifta perdamaian dan persatuan.
Ironisnya, sikap patriotisme Donald Trump terhadap negaranya justru berbanding terbalik dengan pandangan dan tanggapan Joe Biden, Presiden Amerika yang digantikannya. Joe Biden justru meragukan efektifitas kepemimpinan Donald Trump, dan kehadiran Donald Trump sebagai Presiden Amerika justru dikhawatirkan akan jadi ancaman bagi kehidupan demokrasi di dalam negeri maupun dunia.
Joe Biden mengingatkan adanya ancaman oligarki karena menganggap kemenangan dan kepemimpinan Donald Trump merupakan koalisi kekuasaan Donald Trump dengan kelompok ultrakaya penguasa sektor digital. Dukungan dari orang kaya penguasa teknologi digital justru dikuatirkan akan mempengaruhi pola dan gaya kepemimpinan Donald Trump ke depanya.
Gejala itu telah nampak dari rencana Donald Trump yang akan mengeluarkan kebijakan menurunkan pajak sebesar 15 persen bagi perusahaan Amerika, dan mengupayakan terjadinya relokasi industri kembali ke Amerika, serta berbagai upaya menarik investasi ke Amerika.
Sementara disisi lain, Donald Trump menabur ancaman akan menerapkan tarif ekspor lebih tinggi kepada negara lain. Yaitu mengenakan tarif pajak sebesar 25 persen terhadap ekspor negara tetangganya Meksiko, dan meningkatkan tarif pajak lebih besar mencapai 10 persen terhadap barang ekspor dari China sebagai salah satu negara penguasa ekonomi terbesar saat ini.
Donald Trump bertekat memperbaiki kondisi dalam negeri Amerika dan berupaya meringankan beban rakyat lewat jalan memperbaiki sistem perdagangan dan meningkatkan tarif pajak terhadap negara lain, karena sesungguhnya Amerika kini tengah dilanda darurat energi baik secara jumlah produksi maupun harga domestik yang membebani rakyat.
Ambisi keinginan untuk meraih kembali kejayaan Amerika di tengah kondisi dalam negeri yang sebenarnya tidak begitu baik, Donald Trump dituntut untuk mampu bekerja lebih keras dan belajar dari beberapa kekurangannya ketika jadi Presiden di periode sebelumnya. Langkah itu dipandang sangat penting untuk menepis kekuatiran terhadap gaya kepemimpinannya.
Masih melekat dalam benak pikiran banyak pihak di periode kepemimpinan sebelumnya Donald Trump kerap menimbulkan kontaversi, bahkan menimbulkan pertentangan sengit di kalangan internalnya sendiri, baik di internal Partai Republik,maupun di kalangan team work-nya di Istana Kepresidenan Amerika.
Jika Donald Trump tidak belajar dari kekurangan dan kesalahan sebelumnya, dikhawatirkan obsesi Donald Trump akan bagaikan "Jauh panggang dari api". Untuk mengembalikan Amerika sebagai satu-satunya negara dan bangsa besar pusat peradaban dan ekonomi dunia akan gagal jika gaya lama kepemimpinannya masih diterapkan.
Itulah sekilas dinamika dan fenomena yang tampak saat ini yang dapat dijadikan bahan mentah memproyeksikan ke arah mana gaya kepemimpinan Amerika Serikat selanjutnya, dan jadi pengetahuan dasar untuk memprediksi bagaimana Amerika Serikat ke depannya mempengaruhi atmmosfir kehidupan global baik secara ekonomi maupun geopolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H