Sudah barang tentu objektivitas jadi barang langka karena pembicaraan diselimuti oleh kepentingan pribadi berbentuk keberpihakan dan dukung mendukung pigur pasangan capres.
Padahal jelas kehadiran Romo Magnis sebagai saksi ahli karena kapasitas beliau dianggap mumpuni di bidang Etika dan Moral. Bukan merupakan representasi institusi Gereja Katolik Universal.
Imam dan Umat Katolik, paham bahwa sesuai dengan kanon 287 KHK (Kitab Hukum Kanonik) atau Cordex Luris Canonici jelas memuat aturan atau norma bahwa ditekankan Gereja Katolik tidak berpolitik praktis, dan akan selalu berupaya tidak terjebak primordialisme agama.
Kemudian Gadium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), dokumen Konsili Vatika II menyatakan "Gereja menarik garis batas tegas antara Agama dan Negara".
Dalam berpolitik, khususnya menentukan pilihan politik, terutama pilihan dalam Pemilu, umat Katolik menganut prinsif "MINUS MALUM", yang berarti "Memilih yang terbaik diantara terburuk", atau memperkecil kemungkinan terpilih sesuatu yang buruk.
Oleh karena itu politik harus dihayati sebagai "Sakramen", yaitu jika dijalankan dengan benar akan jadi tanda yang kelihatan dari hadirnya rahmat Allah yang tidak kelihatan. Tujuan utamanya dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (Bonum Commune).
Dihayati dan dijalankan dengan benar bearti tidak melanggar nilai-nilai moral dan etika. Pemilu tidak hanya dilaksanakan secara prosedural, menghalalkan segala cara demi kepentingan legitimasi kekuasaan belaka.
Pemilu dilaksanakan harus memuat nilai-nilai atau norma-norma yang baik dan penuh kemuliaan sebagai artikulasi dan aktualisasi jeritan hati nurani rakyat.
Kerinduan akan politik yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan fatsun politik jadi ranah perjuangan Romo Magnis lewat sidang mulia MK, bukan melulu bicara tentang angka rekapitulasi perolehan suara  ala kalkulasi kalkulator.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H