Di acara "Bukber", buka bersama, Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum menyampaikan kepada kadernya "Bersyukur ikut koalisi Prabowo", karena jika tetap di koalisi lama nasib Partai Demokrat akan "Hancur Lebur".
Koalisi lama dimaksud adalah koalisi Partai Nasdem dan PKS pengusung Capres Anies Baswedan. Kemudian ikut bergabung PKB mengakibatkan harapan AHY sebagai bakal calon wakil presiden Anies buyar.
Ucapan AHY ini kemudian menyebabkan Partai Nasdem meradang, karena merasa sebagai sasaran tembak Partai Demokrat.
Pihak Partai Nasdem sendiri mengklaim partai koalisi Anies-Muhaimin, yaitu Partai Nasdem, PKS dan PKB justru memperoleh penambahan jumlah kursi di parlemen hasil pileg 2024 dengan mengusung pasangan Anies-Muhaimin.
Ironisnya justru Partai Demokrat yang mengalami penurunan jumlah kursi di parlemen 2024-2029 dibandingkan pileg 2019.
Bahkan Partai Demokrat menduduki posisi paling bontot diantara semua partai yang lolos ke parlemen.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, perolehan kursi PKB :68, Nasdem :69 dan PKS : 53, sedangkan Partai Demokrat hanya memperoleh 44 kursi.
Pada pileg 2019, Partai Demokrat memperoleh kursi sebanyak 54, berarti berkurang 10 kursi di Pileg 2024.
Sedangkan PKS memperoleh kursi 50 di Pileg 2019 Â sehingga naik 3 kursi di 2024, PKB : 58, naik 10 kursi, dan Nasdem : 59, naik 10 kursi.
Berdasarkan data diatas, menang benar 3 partai pendukung Anies-Muhaimin memperoleh kenaikan jumlah kursi di Pileg 2024.Â
Sehingga menimbulkan pertanyaan, hancur lebur yang bagaimana sesungguhnya dimaksud AHY jika tetap bertahan mendukung koalisi Anies-Muhaimin ?
Apakah AHY memprediksi jika tetap berada di koalisi yang lama Partai Demokrat tidak akan lolos ambang batas parlemen dan gagal peroleh kursi parlemen ?
Kekuatiran tersebut justru berlebihan jika sebelumnya AHY justru paling getol mengatakan bahwa dibawah kepemimpinan Presiden  Joko Widodo dianggap terganggu oleh pembegalan terhadap Partai Demokrat.
Tapi itulah politik pragmatisme, menjadikan politisi gampang berubah haluan sikap dan pemikiran, semua hanya berdasarkan kepentingan sesaat.
Ucapan AHY tersebut tidak berselang jauh dengan diadakannya pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Surya Paloh di Nasdem tower.
Pertemuan kedua ketua umum parpol, dan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih memang mengundang kontroversi dan perdebatan, karena Partai Nasdem sebelumnya bukan pendukung koalisi pengusung Prabowo Subianto.
Pertemuan tiba-tiba setelah pengumuman hasil rekapitulasi Pilpres KPU memang pantas dicurigai sebagai langkah pendekatan kerjasama politik ke depan, bahkan seakan jadi pintu masuk bagi Partai Nasdem untuk ikut masuk ke koalisi pengusung Prabowo, kemudian memperoleh jatah menteri di kabinet Prabowo Subianto.
Jika itu benar terjadi, maka wajar Partai Demokrat gusar dan ingin rasanya melakukan protes, karena merasa salah satu Partai ikut berjuang memenangkan Prabowo.
Sementara Partai Nasdem bukan merupakan partai pendukung, bahkan menyisakan catatan buruk bagi Partai Demokrat, yaitu menelikung partai Demokrat dari sebelumnya memberi harapan bagi AHY sebagai bakal calon pendamping Anies, tetapi kemudian justru memilih Muhaimin Iskandar.
Kekecewaan Partai Demokrat, khususnya AHY sebagai ketua umum, dan orang yang jadi korban PHP (pemberian harapan palsu) Partai Nasdem wajar dipertontonkan ke muka publik.Â
Namun Partai Demokrat juga mesti menyadari bahwa dalam tradisi perpolitikan dewasa ini berlaku hukum "Tidak ada kawan dan musuh abadi", yang ada hanya kepentingan.
Sama halnya dengan partai Demokrat yang selama ini, 9 tahun, capek sebagai partai oposisi pemerintahan Joko Widodo, di masa 1 tahun akhir masa jabatan Jokowi justru menggoda Partai Demokrat berubah haluan dari oposisi jadi koalisi.
Seandainya Partai Nasdem nantinya ikut turut masuk koalisi pendukung Kabinet Prabowo Subianto, apa salahnya dimata AHY dan Partai Demokrat ? Toh partai Demokrat juga sangat menikmati konstelasi koalisi bersifat semu dan cair itu.
Kemudian Partai Demokrat harus sadar bahwa Prabowo Subianto terobsesi membentuk koalisi besar, bila penting mengajak sebanyak mungkin parpol jadi pendukungnya.
Konon lagi, jika dihitung jumlah kursi parpol pendukung Prabowo di Parlemen hasil Pileg 2024, masih kalah jumlahnya dibandingkan jumlah kursi parpol non pendukung Prabowo.
Peluang itu tentu dengan jeli dapat dilihat Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem.Â
Kemudian, partai Nasdem juga belum memiliki catatan sejarah sebagai partai oposisi. Jangan-jangan Surya Paloh sebagai alumni Partai Golkar justru ingin jejak almamaternya sebagai partai "karya", ingin selalu berada di lingkaran kekuasaan, siapapun presidennya.
Justru Partai Demokrat yang perlu dipertanyakan konsistensinya apakah siap kalah menang, dan siap jadi oposisi atau koalisi.
Disamping itu, keberadaan Partai Demokrat sebagai partai menduduki posisi rangking terendah dari semua partai lolos ambang batas parlemen dan memiliki kursi di parlemen, memiliki nilai tawar lebih rendah dibandingkan partai lain yang memiliki jumlah kursi parlemen lebih banyak.
Maka wajar jika Partai Demokrat diharapkan agar duduk manis saja sebagai bagian dari koalisi, karena untuk membentuk koalisi gemuk masih dibutuhkan lagi kursi parlemen dalam jumlah banyak dari partai lain.
AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat idealnya justru semestinya melakukan evaluasi dan konsolidasi internal atas perolehan kursi yang menurun di Pileg 2024.Â
Jangan sibuk menebar narasi mengundang perdebatan dan kontroversi. Karena Partai Demokrat bukan sebagai partai oposisi lagi.
Kemudian perlu dipikirkan bagaimana caranya agar Partai Demokrat memiliki posisi tawar lebih besar di koalisi walau memiliki jumlah kursi terkecil.
Terpenting, AHY semestinya justru memanfaatkan posisinya sekarang untuk lebih intensif melakukan konsolidasi internal agar di pemilu akan datang Partai Demokrat memiliki peluang memperoleh kursi lebih besar lagi.
Sebagai tanda mensyukuri ikut gabung koalisi Prabowo, partai Demokrat untuk sementara cukuplah sebagai anak manis, ikut arus dan tidak perlu banyak bermanuver, apalagi sampai keasikan "Pansos" sebagaimana telah terlihat selama AHY jadi menteri belakangan ini.
Pansos (panjat sosial) dan membangun image lewat media sosial dengan tujuan bisa ikut lagi calon presiden maupun wakil presiden justru akan menjadikan AHY sumber kekuatiran bagi pihak berkepentingan.
Lebih baik AHY fokus konsolidasi internal partai, membesarkan partai, dan mencetak rekor baru di Pemilu akan datang. Jangan latah ikutan mempersiapkan diri sebagai kandidat capres, karena partai Demokrat butuh ditingkatkan popularitas dan elektabilitasnya.
Jika nanti masih memperoleh jatah menteri di Kabinet Prabowo, anggap saja itu nasib mujur dan syukuri. Jangan neko-neko apalagi sampai banyak bermanuver.
Yang pasti gaya komunikasi jauh beda saat jadi oposisi dibandingkan ketika ikut koalisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H