Sikap Anies Baswedan jelas enggan bicara kemungkinan dirinya maju kembali di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024.
Kepada pers Anies Baswedan mengatakan lebih memilih fokus pada rekapitulasi perolehan suara Pilpres daripada bicara pencalonan Pilkada Jakarta.
Langkah Anies Baswedan tersebut "menarik" dan layak diapresiasi. Karena memang tidak selayaknya dia bicara tentang dirinya sendiri maju ke Pilkada ditengah pelaksanaan Pilpres 2024 yang ditenggarai carut marut, amburadul dan mengutak-atik konstitusi.
Rencana pengajuan hak angket oleh DPR RI merupakan salah satu indikator arti penting menyelidiki keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu, khususnya Pilpres 2024 yang dianggap peristiwa terburuk selama era reformasi.
Anies Baswedan sebagai salah seorang peserta Pilpres 2024 memiliki kepentingan khusus terhadap penyelidikan pelaksanaan Pilpres, khususnya terhadap anomali proses rekapitulasi perolehan suara oleh KPU.
Sangat memalukan, dan akan menimbulkan kontroversi jika Anies Baswedan menunjukkan ambisi pribadi maju pemilihan Gubernur Jakarta ditengah perhitungan suara belum tuntas, dan tuntutan serta demonstrasi terhadap pelaksanaan Pilpres 2024 masih marak.
Sikap Anies Baswedan yang nampak berbeda dengan Partai Nasdem yang sudah kasak kusuk mengusulkan nama Ahmad Sahroni masuk bursa calon gubernur di Pilkada DKI 2024 bukan hanya mempertontonkan adanya  niat meninggalkan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, tetapi secara implisit memuat pesan partai Nasdem tidak serius mendukung hak angket, dan upaya penyelidikan keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang dianggap berjalan tidak baik.
Sikap Partai Nasdem demikian semakin memberi pertanda bahwa Partai Nasdem mencalonkan Anies Baswedan hanya sekedar memuluskan niat memperoleh efek ekor jas (coat tail effect).Â
Dalam rekapitulasi sementara perolehan suara Pileg oleh KPU, Partai Nasdem diprediksi lolos ke Senayan karena melampaui PT (Parlemen Threshold), dan masuk jajaran partai papan atas.
Pencapaian target itu melampaui ekspektasi dan hasil survey selama ini, sehingga lebih dari cukup bagi Partai Nasdem, dan tidak ingin direpotkan oleh hiruk pikuk gugatan terhadap pemerintah.
Apalagi Partai Nasdem ditenggarai lebih merasa nyaman jika masuk ke dalam barisan koalisi pemerintah yang berkuasa nantinya.
Fenomena ini memberi secuil indikasi ada kemungkinan Anies Baswedan suatu saat justru akan ditinggalkan Partai Nasdem.
Kemungkinan itu boleh saja terjadi, terutama karena sesungguhnya ada perbedaan paradigma antara Anies Baswedan dengan Partai Nasdem.
Sebagai mana jargon yang diusung Anies Baswedan saat Pilpres "Ingin Melakukan Perubahan", semestinya jadi kerangka pemikiran yang harus konsisten dilakukan Anies Baswedan, sementara Partai Nasdem cenderung pragmatis.
Upaya menggulirkan hak angket merupakan salah satu variabel penting dalam aktualisasi jargon perubahan yang diusung oleh Anies Baswedan selama ini.
Hak angket bukan melulu berorientasi pada upaya menggugat dan menangkan elektoral atau perolehan suara, tetapi muaranya untuk menyelidiki penyimpangan pelaksanaan Pemilu, khususnya Pilpres melibatkan pemerintah.
Hak angket memiliki fungsi dan arti penting dalam upaya evaluasi dan meningkatkan kualitas demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar perjuangan menang atau kalah.
Kalau memang Anies Baswedan konsisten dengan jargon perubahan, justru momen ini menuntut dirinya harus berada di garda terdepan mendukung hak angket maupun penyelidikan terhadap proses pelaksanaan Pemilu 2024.
Maka jika sampai hari ini Anies Baswedan menyatakan memilih lebih fokus mengikuti proses rekapitulasi suara oleh KPU dibandingkan bicara peluang maju kembali kontestasi Pilgub DKI, maka patut diapresiasi dan didukung.
Sikap partai Nasdem yang mulai latah bicara tentang bakal calon Gubernur Jakarta biarlah sebagai salah satu bukti awal menunjukkan sikap tidak serius memperjuangkan perbaikan pelaksanaan Pemilu 2024.
Indikasi itu semakin memperlihatkan sikap ambivalen partai Nasdem, yaitu sikap antara memilih sebagai oposisi, atau ikut masuk koalisi pendukung pemerintahan yang akan datang.
Yang pasti godaan ikut koalisi pemerintah lebih besar daya tariknya dibandingkan sebagai oposisi jika suatu partai terjebak dalam sikap pragmatis.
Itulah dilema yang akan dihadapi Anies Baswedan di tengah atmosfir kehidupan politik paska Pilpres 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H