Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Swiftonomics Lahir dari Rahim Strategi Empathic Based Marketing

16 Maret 2024   13:54 Diperbarui: 17 Maret 2024   20:48 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini "Swiftonomics" bagaikan aliran baru ideologi ekonomi modern. Viral diperbincangkan, banyak negara ingin mengadopsi, termasuk elit politik Indonesia ikutan latah bicara Swiftonomics.

Ironisnya, Swiftonomics hanya dipandang dari sisi efek besaran dampak ekonomi, stimulus ekonomi, dan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)  suatu negara. Malah bukan menjadikan fenomena ini sebagai studi kasus memperkaya pengetahuan tentang strategi yang tersirat di belakang kesuksesan konser Swift Taylor yang memiliki fans atau penggemar fanatik berlabel "SWIFTIES".

Sesungguhnya para Swifties inilah motor penggerak sukses konser Taylor Swift, dan berkontribusi besar terhadap income fantastik dan fenomenal di setiap pelaksanaan konser. Oleh karena itu, menarik dikaji lebih mendalam tentang apa sesungguhnya faktor penyebab tingginya antusiasme dan loyalitas penggemar Taylor Swift di setiap event konser, pengunjung membeludak, melebihi jumlah normal, dan tiket konser selalu ludes terjual.

Istilah Swiftonomics belum ada dalam literatur ilmu ekonomi perguruan tinggi. Swiftonomics lahir sebagai istilah yang disematkan dari efek fenomena konser Taylor Swift penyanyi pop Amerika Serikat yang mampu sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal maupun internasional. Sehingga banyak negara ingin konser Taylor Swift  bertajuk The Eras Tour dilakukan di negaranya untuk meningkatkan gairah ekonomi domestik.

Magnet Success Story konser Taylor Swift menggoda, dan menggiurkan banyak negara, karena terbukti setiap konser Taylor Swift memberi efek, atau dampak besar terhadap ekonomi negara tempat dilaksanakan konser. Sehingga lahir Swiftonomics sebagai istilah baru menggambarkan cara terkini menimbulkan stimulus pertumbuhan ekonomi ala kesuksesan konser Taylor Swift.

Sebuah artikel bertajuk "Swiftonomics : The Global Impact of Taylor Swift" dari Michigan State University, menyebut konser di Amerika meraup pendapatan sebesar  USD 554 Juta, sedangkan pada tingkat global mampu meraih pendapatan USD 1,04 Milyar, merupakan capaian pertama dalam catatan sejarah mampu mencapai milyaran USD.

Negara Asia Tenggara, Singapura merupakan salah satu negara pertama menikmati efek Swiftonomic ini, dengan kontribusi sebesar USD 340,02 (sekitar 3 Triliun) terhadap PDB selama pelaksanaan konser 6 hari. Efeknya bukan hanya untuk sektor seni dan hiburan, tetapi memberi efek signifikan terhadap sektor transportasi, akomodasi dan penjualan merchandise sebagai stimulus ekonomi domestik.

Konser Taylor Swift tidak lagi dipandang melulu sebagai bisnis hiburan, tetapi sebagai salah satu sektor ekonomi penting yang mampu sebagai stimulus gairah ekonomi dan meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto).

FENOMENA SWIFTIES

Tidak ada salahnya jika banyak negara ingin melakukan "Azas Manfaat" dari efek konser spektakuler Taylor Swift karena sudah terbukti mampu sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi domestik dan meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto). Tetapi ada pembelajaran berharga dapat dipetik dari fenomena dan Succes Story konser Taylor Swift sebagai benchmarking.

Pada esensinya benchmarking berperan sebagai informasi komparatif bagi manajemen organisasi maupun bagi pemangku kepentingan terutama bagi pemerintah sebagai regulator, bermanfaat sebagai langkah-langkah inovatif mengidentifikasi langkah-langkah atau strategi terbaik untuk diterapkan setelah belajar dari pengalaman atau kesuksesan orang lain.

Menurut Oxford Dictionary, benchmarking adalah sesuatu yang dapat diukur dan digunakan, sebagai standard yang bisa dibandingkan dengan hal lain, atau tolak ukur yang digunakan untuk menilai dan membandingkan.

Sederhananya benchmarking adalah proses belajar dari pengalaman perusahaan lain atau orang lain, kemudian menjadikannya sebagai standard baru atau strategi baru untuk meningkatkan kinerja.

Salah satu pelajaran berharga yang kemudian dapat dipergunakan sebagai strategi bisnis maupun kebijakan baru bagi suatu perusahaan maupun regulator dalam hal ini pemerintah dari fenomena kesuksesan konser Swift Taylor adalah Fenomena Swifties yang tidak bisa dipisahkan dengan Strategi Empathy Marketing.

Swifties adalah sebutan bagi penggemar fanatik atau fans setia Taylor Swift. Sebutan ini dilakukan oleh para penggemar Swifties sebagai cara mengidentifikasi diri mereka penggemar setia dan fanatik Taylor Swift di seluruh belahan dunia tanpa melihat sekat latar belakang negara, suku, ras dan agama.

Para Swifties menggunakan media sosial sebagai sarana penghubung mereka satu sama lain, dan membentuk satu komunitas untuk berbagi. Mereka memiliki dedikasi yang luar biasa terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan Taylor Swift seperti sikap berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, menghindari sikap licik, memahami arti karma baik dan karma buruk dalam kehidupan.

Kalangan Swifties juga memiliki kesamaan pandangan bahwa kebahagiaan tidak selamanya ditentukan oleh materi, tidak mengutamakan kekayaan atau kemewahan tetapi lebih menghargai kesederhanaan dan keromantisan. Sikap dan keyakinan itu banyak dipetik dari syair lagu Taylor Swift, misalnya lagu yang mengungkapkan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam momen-momen kecil yang penuh makna.

Taylor Swift banyak menulis lagu ekspresi kegundahan, kesedihan dan patah hati tapi berguna untuk mendorong pengagumnya bangkit dari masa-masa sulit dan belajar dari masa lalu untuk kehidupan lebih baik ke depan.

Para Swifties banyak memperoleh inspirasi, pembelajaran dan motivasi dari karya Taylor Swift sehingga mereka memiliki kesetiaan yang tinggi, dan penuh empati.

Empati adalah kemampuan memproyeksikan diri terhadap diri orang lain untuk dapat memahami persis apa yang sedang dirasakan orang lain, kemudian mampu memberikan sesuatu yang sesuai dengan keinginan atau kebutuhan orang lain. Sikap empati inilah yang mengikat loyalitas dan kepedulian sosial para Swifties, sehingga mereka memiliki ikatan batin yang kuat terhadap idolanya Taylor Swift, maupun terhadap sesama penggemar Swifties.

Nilai-nilai inilah salah satu penyebab utama membludaknya jumlah penonton di mana pun Taylor Swift mengadakan konser. Sikap empati telah mengikat mereka dalam sebuah komunitas dan persaudaraan maka wajar terjadi penggemar fanatik dan loyal, bahkan pembela setia jika Taylor Swift dirundung kontroversi.

Intinya, benchmarking yang dapat dipetik dari interaksi Taylor Swift dengan fans atau penggemarnya adalah kemampuan manajemen Taylor Swift menciptakan hubungan empati melahirkan loyalitas fans.

Ini merupakan salah satu strategi menarik untuk diterapkan dalam kebijakan marketing, atau menjual suatu produk atau jasa, terutama untuk bisnis hiburan yang layak diadopsi.  Dan ini merupakan salah satu faktor terpenting penyebab konser Taylor Swift di mana pun mampu menjual tiket ludes dalam waktu singkat dan dalam jumlah sangat besar. Sudah barang tentu muaranya menjadikan penghasilan Taylor Swift sangat besar, terutama memberikan efek domino terhadap perekonomian domestik negara tempat manggung Taylor Swift.

Dengan demikian, belajar dari success story konser Taylor Swift tidak cukup berburu efek pertumbuhan ekonomi bagi suatu negara yang dinamakan sebagai Swiftonomics, tetapi hal terpenting adalah strategi manajemen bisnis hiburan ala Taylor Swift yang mengadopsi strategi "Empathy Marketing", yaitu membangun komunitas yang memiliki ikatan batin yang kuat demi loyalitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun