Menunda pernikahan maupun enggan menikah mengalami trend peningkatan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia saat ini.
Salah satu efek rendahnya minat menikah bagi generasi saat ini adalah menurunnya jumlah bayi lahir, dan populasi manusia menurun drastis.
Alasan enggan berumah tangga (resesi sex) dengan alasan tidak ingin memiliki keturunan atau anak, selain mengingkari kodrat manusia, terjadi pergeseran mindset.
Minimnya keinginan berumah tangga dan memiliki anak tidak bisa dipisahkan dari pergeseran keyakinan dan kerangka berpikir seseorang.
Ironisnya fenomena itu banyak menghinggapi masyarakat kelas menengah (middle class) yang memiliki income hanya cukup memenuhi kebutuhan pokok, dan tidak memiliki tabungan (saving).
Di negara ekonomi kelas menengah yang kini mengalami Middle Income Trap seperti kondisi ekonomi Indonesia saat ini menimbulkan trend semakin meningkat resesi sex karena kekuatiran terhadap kondisi keuangan pribadi, takut tidak memiliki uang memadai untuk biaya hidup keluarga terutama anak.
Kondisi keuangan yang hanya cukup memenuhi kebutuhan pribadi, tidak memiliki tabungan, bahkan riskan jatuh miskin membuat seseorang semakin kuatir dengan masa depan keuangan.
Sehingga banyak para generasi muda memilih hidup sendiri, enggan menikah dan kuatir memiliki anak.
Untuk mengatasi keengganan menikah dengan alasan karena kuatir terhadap kondisi finansial pribadi, dibutuhkan solusi yang tepat lewat pergeseran kerangka berpikir dan gaya hidup (life style).
Salah satu solusi adalah perencanaan keuangan menuju kebebasan finansial lewat jalan memilih gaya hidup frugal living.
Frugal Living tidak identik dengan pelit, atau hidup dalam keterbatasan, tetapi tentang kemampuan seseorang melakukan skala prioritas pengeluaran sesuai dengan kebutuhan, menghindari konsumsi produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.
Tujuan utama Frugal Living mengurangi pengeluaran dengan membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk menghindari pemborosan.
Frugal living sebagai gaya hidup mengutamakan pengelolaan keuangan secara bijak dan hemat untuk menuju tahap kebebasan finansial.
Konsep frugal living berkembang pesat ketika terjadi The Great Depression (1929-1939) di Amerika Serikat yang mengharuskan orang menghargai nilai uang dan menghindari pemborosan karena kondisi ekonomi sulit.
Hal yang sama pernah terjadi di Indonesia saat perekonomian nasional dilanda resesi ekonomi, dimana pemerintah mensosialisasikan kepada masyarakat supaya "memperketat ikat pinggang" sebagai jargon gaya hidup hemat dan tidak boros.
Dewasa ini semakin banyak orang mengadopsi  Frugal Living karena ingin mengurangi dampak kerusakan lingkungan maupun eksploitasi sumber daya alam, misalnya dengan mengurangi konsumsi plastik, memilih produk daur ulang atau memilih produk lokal.
Intinya frugal living berkaitan erat dengan kemampuan memperbaiki kebiasaan finansial, selain meminimalisir pengeluaran dibutuhkan kemampuan mengelola utang dengan bijak, menabung dan berinvestasi.
Sudah barang tentu semua hal itu hanya dapat terwujud apabila seseorang mampu menjaga keseimbangan keuangan, menjaga keseimbangan pendapatan dan pengeluaran dengan langkah-langkah hanya membeli barang yang dibutuhkan, tidak membeli barang-barang mewah dan branded tapi mampu mencari produk substitusi maupun yang lebih murah tanpa mengorbankan kualitas. Atau memanfaatkan musim diskon produk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H