Kadang muncul rasa geli, dan ingin rasanya tersenyum sendiri saat melihat banyaknya kritik maupun tanggapan terhadap kecenderungan semakin banyak jumlah artis top berhasil memperoleh kursi di DPR RI maupun DPRD.
Lucunya, kritik bernada miring itu bagaikan vonis palu hakim menuduh para artis itu tidak memiliki kapabilitas dan kualitas sebagai legislator nantinya.
Sehingga muncul pertanyaan menggelitik, "Apakah tepat kita mempertanyakan kualitas anggota parlemen di tengah sistem pemilu proporsional terbuka yang sangat liberal saat ini ?"Â
Ini sebuah pertanyaan sederhana, namun butuh permenungan mendalam untuk menjawabnya.Â
Karena pada esensinya, demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini sesungguhnya tengah berjalan ke arah liberalisasi demokrasi, yaitu memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk bisa mendirikan partai politik dan memberi keleluasan super terbuka bagi siapapun untuk berpartisipasi dalam politik, baik sebagai anggota, kader, pengurus partai maupun calon anggota legislatif.
Dengan demikian siapapun bisa aktif di gelanggang politik tanpa memperhitungkan latar belakang maupun profesi seseorang, apakah dia pemulung, tukang parkir, pengusaha maupun pejabat pemerintah memiliki hak yang sama untuk jadi calon legislatif.
Itulah arti sesungguhnya liberalisasi demokrasi, memberikan kesempatan dan peluang yang sama bagi semua orang, dan memungkinkan setiap lapisan masyarakat terwakili di parlemen. Namanya juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berarti semua kelompok atau golongan masyarakat semestinya memiliki perwakilan di parlemen.
Parlemen, khususnya DPR itu merupakan lembaga perwakilan rakyat yang diharapkan mampu sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat, khususnya kelompok atau golongan yang diwakili oleh anggota DPR tersebut. Apabila seorang artis top duduk sebagai anggota DPRD maka dia akan memperjuangkan kepentingan golongan artis di parlemen.
Dengan demikian justru semua golongan maupun kelompok profesi yang ada di masyarakat memiliki perwakilan di parlemen, misalnya anggota parlemen perwakilan ART (Asisten Rumah Tangga) atau Pembantu, Driver Ojol, Guru Honor, Guru Spritual dan lain sebagainya, agar masing-masing diantara mereka bisa memperjuangkan aspirasi golongan dan konstituen yang memilihnya.
Kekhawatiran terhadap minimnya kualitas personal anggota dewan, khususnya kualitas artis di bidang politik maupun tugas buddgeting, pengawasan, dan pembuatan undang-undang di parlemen, itu bukan salah arti itu sendiri.Â