Seperti sudah diutarakan sebelumnya, Â jika dilihat sekilas nampak jelas Joko Widodo benar-benar memiliki pengaruh dan kekuatan sangat besar. Â Namun jika dicermati lebih mendalam, apakah kekuatan itu akan selamanya langgeng ? Terutama disaat Prabowo Subianto sudah dilantik sebagai Presiden, apakah benar-benar diberikan ruang yang luas bagi Joko Widodo untuk tetap mencengkramkan pengaruhnya.
Jika dilihat dari sisi kedudukan Gibran sebagai wakil presiden, hal itu memungkinkan terjadi. Tetapi tidak bisa dilupakan bahwa secara konstitusional Wakil Presiden itu tidak memiliki wewenang yang kuat untuk turut mempengaruhi pengambilan keputusan strategis. Wakil Presiden itu tak ubahnya bagaikan "ban serap", dan hanya memiliki wewenang apabila presiden berhalangan tetap.
Kemudian,sesungguhnya koalisi besar pendukung Prabowo Subianto itu adalah partai politik, jadi sharing kekuasaan atau pembagian kekuasaan di kabinet akan didominasi oleh kekuatan partai politik.Â
Joko Widodo sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar terhadap partai politik, karena bukan merupakan ketua umum partai politik, dan tidak memiliki partai politik yang sangat kuat berkontribusi terhadap dukung mendukung koalisi besar pengusung Prabowo Subianto.
Lalu apa garansi utama yang menjamin Joko Widodo akan memiliki kekuatan yang langgeng melakukan "bergaining position" didalam koalisi besar pengusung dan pendukung Prabowo Subianto ? Jika tidak ada maka sesungguhnya kekuatan Joko Widodo itu adalah "Illution of Strength" yang bersifat "Fragile", atau dengan kata lain kekuatan Joko Widodo itu hanya sebuah ilusi yang sangat rentan pecah berkeping-keping disaat partai papan atas pendukung Prabowo Subianto tidak berkenan terhadap campur tangan atau intervensi Joko Widodo.
Partai Gerindra yang merupakan partai utama pendukung Prabowo Subianto dan beliau sebagai ketua umum Partai tersebut sudah barang tentu akan lebih mengutamakan kepentingan partainya diatas kepentingan pihak lain.
Demikian juga halnya dengan Partai Golkar, yang selama ini sudah terlihat sangat jelas karakteristiknya yang hanya berorientasi kepada kepentingan untuk tetap masuk ke dalam lingkaran kekuasaan tanpa memperdulikan apa warna dan aliran politik mitra koalisinya. Disaat kepentingan mereka tidak terakomodir atau ketika ada kepentingan yang tidak sesuai dengan harapan partai Golkar maka tidak sungkan mereka akan memilih jalan sendiri untuk merealisasikan kepentingannya.Â
Kemudian Partai Demokrat yang ikut bergabung di tengah jalan mendukung koalisi besar Prabowo Subianto-Joko Widodo secara historis sesungguhnya tidak memiliki kedekatan emosional yang erat dengan Joko Widodo, sehingga sangat rentan untuk berpisah di tengah jalan.
Catatan sejarah paling penting yang digoreskan oleh Joko Widodo sendiri adalah masa lalunya yang sesungguhnya tidak memiliki loyalitas tinggi terhadap pertemanan, terutama terhadap partai politik pendukungnya. Sehingga hal ini akan tetap jadi bayang-bayang kelam yang akan selalu diingat oleh para mitra koalisinya.
Dari paparan diatas maka tidak berlebihan jika disebut bahwa kekuatan yang dimiliki Joko Widodo saat ini sesungguhnya sangat labil dan rentan untuk tergerus jadi lemah, bahkan dikuatirkan akan menajdikan dirinya kehilangan pengaruh setelah tidak menjabat sebagai presiden lagi.
Ini hanya secuil analisa yang bisa saja benar atau meleset, tetapi biarkanlah ruang dan waktu mengujinya. Â