Mahkamah Konstitusi (MK) setuju Ambang Batas Parlemen (Parliementary Threshold) 4 % ditinjau kembali karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan kepastian hukum.
Keputusan ini sudah barang tentu menimbulkan kontroversi dan perdebatan anatar setuju dan tidak setuju. Jika dilihat lewat kacamata kaum awam hal ini membingungkan serta menimbulkan tanda tanya, "Kutak-katik konstitusi untuk kepentingan siapa lagi ini ?".
Kecurigaan masyarakat atas kemungkinan adanya kepentingan terselubung dibalik peninjauan kembali ketentuan ambang batas parlemen oleh MK wajar muncul kepermukaan karena ada pengalaman buruk sebelumnya.
Oleh karena itu maka bicara tentang peninjauan kembali ambang batas parlemen mesti didudukkan pada proporsi yang tepat, yaitu untuk kepentingan apa sesungguhnya peninjauan itu dilakukan, dan apa gerangan tujuan utama yang hendak dicapai.
Jika melihat atmosfir kehidupan demokrasi dewasa ini, khususnya sistem pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan, suka tidak suka saat ini kita tengah hidup dibawah alam demokrasi liberal. Sistem Pemilu Proporsional Terbuka sesungguhnya salah satu bentuk pemilu sangat liberal, bebas seluas-luasnya, dalam arti semua orang memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pemilu dan semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk aktif di partai politik, bahkan untuk mendirikan partai politik juga sangat bebas.
Kebebasan yang sangat luas itu sudah barang tentu sebagai pintu masuk untuk siapapun memiliki peluang untuk berpartisipasi dan berkecimpung dalam gelanggang politik lewat pemiliha umum. Perolehan suara di pemilu memberi kesempatan untuk semua orang menduduki jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif, yaitu lewat cara mengkonversi perolehan suara jadi perolehan kursi.
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka dengan menerapkan Parliementary Threshold sebesar 4 % memang menjadikan pemilihan legislatif (Pileg) untuk DPR RI tidak sangat liberal murni, karena ada pembatasan hanya partai yang memperoleh suara minimal 4% yang bisa lolos ke parlemen. Pembatasan ini menjadikan ada perolehan suara partai kecil yang tidak terkonversi jadi kursi di parlemen. Hal ini dianggap tidak proporsional dan perolehan suara partai kecil mubajir serta tidak terwakili di parlemen, serta pilihan masyarakat dianggap tidak ada yang mewakili di parlemen.
Namanya sistem pemilu proporsional terbuka yang identik dengan liberal atau bebas, dalam arti semua orang bebas menentukan pilihan dan bebas memiliki perwakilan di parlemen, maka penerapan ambang batas parlemen justru dianggap mengkebiri kebebasan itu, dan mempersempit jalan menentukan  perwakilan di parlemen.
Dengan mempergunakan logika ini, maka secara inplisit, suka tidak suka, penghapusan ambang batas parlemen mengandung makna ada keinginan untuk menjadikan sistem pemilu dan kepartaian sangat liberal dan sangat bebas seluas-luasnya, tanpa ada peraturan yang menghalangi kesempatan bagi semua orang memiliki perwakilan di parlemen.
Itukah sesungguhnya yang diharapkan untuk diterapkan saat ini ?