Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Utak-atik Ambang Batas Parlemen untuk Siapa

1 Maret 2024   11:53 Diperbarui: 3 Maret 2024   06:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) setuju Ambang Batas Parlemen (Parliementary Threshold) 4 % ditinjau kembali karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan kepastian hukum.

Keputusan ini sudah barang tentu menimbulkan kontroversi dan perdebatan anatar setuju dan tidak setuju. Jika dilihat lewat kacamata kaum awam hal ini membingungkan serta menimbulkan tanda tanya, "Kutak-katik konstitusi untuk kepentingan siapa lagi ini ?".

Kecurigaan masyarakat atas kemungkinan adanya kepentingan terselubung dibalik peninjauan kembali ketentuan ambang batas parlemen oleh MK wajar muncul kepermukaan karena ada pengalaman buruk sebelumnya.

Oleh karena itu maka bicara tentang peninjauan kembali ambang batas parlemen mesti didudukkan pada proporsi yang tepat, yaitu untuk kepentingan apa sesungguhnya peninjauan itu dilakukan, dan apa gerangan tujuan utama yang hendak dicapai.

Jika melihat atmosfir kehidupan demokrasi dewasa ini, khususnya sistem pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan, suka tidak suka saat ini kita tengah hidup dibawah alam demokrasi liberal. Sistem Pemilu Proporsional Terbuka sesungguhnya salah satu bentuk pemilu sangat liberal, bebas seluas-luasnya, dalam arti semua orang memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pemilu dan semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk aktif di partai politik, bahkan untuk mendirikan partai politik juga sangat bebas.

Kebebasan yang sangat luas itu sudah barang tentu sebagai pintu masuk untuk siapapun memiliki peluang untuk berpartisipasi dan berkecimpung dalam gelanggang politik lewat pemiliha umum. Perolehan suara di pemilu memberi kesempatan untuk semua orang menduduki jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif, yaitu lewat cara mengkonversi perolehan suara jadi perolehan kursi.

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka dengan menerapkan Parliementary Threshold sebesar 4 % memang menjadikan pemilihan legislatif (Pileg) untuk DPR RI tidak sangat liberal murni, karena ada pembatasan hanya partai yang memperoleh suara minimal 4% yang bisa lolos ke parlemen. Pembatasan ini menjadikan ada perolehan suara partai kecil yang tidak terkonversi jadi kursi di parlemen. Hal ini dianggap tidak proporsional dan perolehan suara partai kecil mubajir serta tidak terwakili di parlemen, serta pilihan masyarakat dianggap tidak ada yang mewakili di parlemen.

Namanya sistem pemilu proporsional terbuka yang identik dengan liberal atau bebas, dalam arti semua orang bebas menentukan pilihan dan bebas memiliki perwakilan di parlemen, maka penerapan ambang batas parlemen justru dianggap mengkebiri kebebasan itu, dan mempersempit jalan menentukan  perwakilan di parlemen.

Dengan mempergunakan logika ini, maka secara inplisit, suka tidak suka, penghapusan ambang batas parlemen mengandung makna ada keinginan untuk menjadikan sistem pemilu dan kepartaian sangat liberal dan sangat bebas seluas-luasnya, tanpa ada peraturan yang menghalangi kesempatan bagi semua orang memiliki perwakilan di parlemen.

Itukah sesungguhnya yang diharapkan untuk diterapkan saat ini ?

Jika memang itu yang diinginkan, tidak ada juga salahnya. Namanya juga demokrasi liberal, semua orang bebas mengemukakan pendapat dan bebas ikut pemilu dan bebas juga menentukan pilihan dan perwakilannya di parlemen. Tetapi kemudian muncul pertanyaan apakah kebebesan yang sangat liberal itu jadi kepentingan prioritas saat ini ditengah sistem kepartaian dewasa ini yang belum menunjukkan kualitas yang sesuai dengan harapan masyarakat umumnya.

Berdasarkan pemgalaman selama ini, Pemilu dengan multi partai bukan jadi jaminan terwujudnya kehidupan politik yang demokratis dalam arti partai politik yang muncul dan ikut berkompetisi dalam Pemilu belum tentu jadi partai yang benar-benar mewakili harapan dan aspirasi masyarakat. Ironisnya justru banyak muncul partai-partai politik oportunis, hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, bahkan ada partai politik hanya dijadikan sebagai sarana bargaining position kepentingan sempit ketua atau owner partai politik. Bahkan ada partai politik yang berorientasi hanya untuk menyelamatkan kepentingan pribadi dan anaknya.

Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya apa skala prioritas yang ingin dicapai dalam rangka memajukan sistem berdemokrasi bangsa ini ? Apakah sekedar kebebasan belaka atas nama demokrasi ? 

Atau sebaliknya, justru sesungguhnya yang kita inginkan adalah perbaikan kualitas demokrasi itu sendiri lewat jalan memperbaiki sistem kepartaian dan pelembagaan partai politik (institusionaliasi partai politik, baik secara dimensi derajat kesisteman maupun dimensi ideologi yang mampu menjadikan partai itu sebagai sarana  artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat.

Menurut hemat penulis, untuk kepentingan mendesak dan jadi skala prioritas saat ini adalah perbaikan sistem kepartaian dan memperbaiki kualitas partai politik itu sendiri untuk memperbaiki kualitas demokrasi bangsa Indonesia.

Apalah artinya banyak partai politik dan banyak macamnya orang yang duduk di parlemen jika tidak memiliki kualitas serta tidak memiliki kerangka berpikir yang jelas untuk mengemban aspirasi masyarakat. Tanpa perbaikan kualitas sistem kepartaian terlebih dahulu, liberalisasi demokrasi hanya akan menjerumuskan atmosfir demokrasi kita ke alam kelam yang penuh intrik kepentingan sempit diatas penderitaan rakyat. 

Jangan sampai parlemen hanya sebagai sarana empuk untuk melanggengkan kekuasaan orang-orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya atas nama demokrasi. Hal itu dengan mudah terjadi bila sistem demokrasi kita sangat liberal tanpa dilandasi oleh "Fatsun Politik" maupun Ideologi.

Sebelum bicara tentang perlunya peninjauan kembali ambang batas parlemen, sangat mendesak diperbincangkan dan diaktualisasikan adalah perbaikan kualitas dan sistem kepartaian kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun