Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku Kira MOGE Hanya Milik Pengusaha Sukses

2 Maret 2023   13:46 Diperbarui: 2 Maret 2023   14:41 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Kompas.Com

Jujur, selama ini setiap kali ketemu rombongan "Moge" atau motor besar di jalanan, terusik juga hati kecil ini. Karena rombongan para pengendara Moge itu di jalan tak ubahnya bagai kelompok orang-orang istimewa, dari kalangan papan atas, atau orang hebat dan berkuasa.

Rombongan Moge melintas tidak peduli dengan kondisi apa pun yang sedang terjadi di jalanan, mereka kerap melintas memborong jalanan untuk didahulukan.

Suara knalpot Moge yang keras tak ubahnya bagai pertanda mereka memang masyarakat kelas atas, dan masyarakat yang ada seakan hanya masyarakat kelas rendahan yang tidak butuh dipedulikan.

Itulah yang selalu terbersit dalam benakku setiap kali ketemu rombongan pengendara Moge di jalanan, mereka tak ubahnya sebagai simbol ketimpangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.

Dan teramat perih hati ketika baca berita ketika ada yang meminta agar Moge diijinkan melintas di Jalan Tol. Seandainya itu diijinkan, bukankah semakin nampak jelas pemberian keistimewaan bagi orang kaya ?

Namun sebagai orang yang pernah kuliah dan belajar tentang management sumber daya manusia, khususnya teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow, terkadang aku berusaha menaklukkan keprihatinan dalam hati dengan berupaya berpikir rasional ingat Abraham Maslow.

Aku beprikir, iya orang kaya itu kan kebutuhannya bukan mikir makan, minum lagi, tapi sudah sampai ke level memenuhi kebutuhan penghargaan, kelas sosial atau aktualisasi sisi.

Jadi kadang aku mikir, itulah uniknya manusia, kebutuhannya serba kompleks, kadang tidak masuk akal, tapi Abraham Maslow bilang memang dipuncak tertinggi kebutuhan manusia itu salah satunya ingin memperoleh pengakuan atau di hargai.

Karena selama ini dalam bayanganku orang yang naik Moge selama ini adalah orang laya, khususnya dari kalangan pengusaha sukses. 

Jadi maklum aja jika mereka ingin menikmati hidup naik Moge sebagai upah kerja keras mereka cari uang selama ini. Naik Moge bagi mereka aku anggap hiburan sambil sport, menikmati nuansa alam dan sebagai sarana rekreasi.

Wajar toh mereka menikmati hasil keringat dan jerih payah mereka  bekerja keras. Setelah sukses mereka menikmatinya dengan cara mereka, termasuk naik Moge.

Tetapi, baca berita akhir-akhir ini, ternyata pemilik Moge, bahkan punya Club Moge tersendiri adalah pejabat (pegawai) di salah satu departemen, kembali mengusik rasa pedih di hati.

Karyawan yang identik dengan ASN (Aparat Sipil Negara) hidup bermewah-mewah dan tidak malu mempertontonkannya ke ranah publik menimbulkan tanda tanya besar dan sangat mengusik hati kecil.

Apa gerangan yang sudah hilang dari kehidupan kita dewasa ini sehingga tidak ada lagi rasa sensitifitas ?

Apakah mereka aparatur negara itu tidak merasa bersalah mempertontonkan kekayaannya ?

Sementara sudah bukan rahasia umum lagi bahwa bekerja sebagai ASN identik dengan pengabdian, bukan untuk cari kaya.

Kalau hanya mengharapkan besaran gaji dan tunjangan lainnya, sulit membayangkan ada ASN kaya raya.

Okelah, mereka karena korupsi jadi kaya, lalu apakah tidak ada lagi rasa malu mempertontonkan gaya hidup mewah ?

Bukan kah korupsi terlarang, dan dilakukan secara tersembunyi alias main gelap, lalu kenapa mereka tidak malu tampil di publik dengan gaya hidup mewah ?

Itulah beberapa sikap yang telah lama hilang diantara mereka pejabat yang tidak merasa risih mempertontonkan gaya hidup mewah mereka. Ini sangat memprihatinkan.

Oleh karena itu menjadi problema yang aktual untuk dipecahkan sekarang, dan dibutuhkan cara untuk menstimulus bisikan hati kecil mereka yang sudah lama mati rasa, terutama hilangnya rasa sensitifitas terhadap kepedulian sosial, terutama kekuatiran terhadap kemungkinan munculnya kecemburuan sosial.

Apakah memang harta satu-satunya sebagai lambang kesuksesan dalam kehidupan sekarang ini, sehingga  pamer gaya hidup mewah dianggap bukan jadi masalah lagi.

Kultur kapitalisme, atau mendewakan uang dan harta apakah sudah jadi trend hidup yang menjadi pilihan untuk di pertontonkan dalam interaksi sosial saat ini.

Ironisnya, yang melakukan gaya hidup mewah itu adalah pejabat negara, bukan pengusaha yang memang kaya raya karena itu dunianya.

Yang memprihatinkan Moge jadi simbol kaya versus miskin, ini persoalan mengusik kepedihan hati sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun