Jujur, selama ini setiap kali ketemu rombongan "Moge" atau motor besar di jalanan, terusik juga hati kecil ini. Karena rombongan para pengendara Moge itu di jalan tak ubahnya bagai kelompok orang-orang istimewa, dari kalangan papan atas, atau orang hebat dan berkuasa.
Rombongan Moge melintas tidak peduli dengan kondisi apa pun yang sedang terjadi di jalanan, mereka kerap melintas memborong jalanan untuk didahulukan.
Suara knalpot Moge yang keras tak ubahnya bagai pertanda mereka memang masyarakat kelas atas, dan masyarakat yang ada seakan hanya masyarakat kelas rendahan yang tidak butuh dipedulikan.
Itulah yang selalu terbersit dalam benakku setiap kali ketemu rombongan pengendara Moge di jalanan, mereka tak ubahnya sebagai simbol ketimpangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
Dan teramat perih hati ketika baca berita ketika ada yang meminta agar Moge diijinkan melintas di Jalan Tol. Seandainya itu diijinkan, bukankah semakin nampak jelas pemberian keistimewaan bagi orang kaya ?
Namun sebagai orang yang pernah kuliah dan belajar tentang management sumber daya manusia, khususnya teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow, terkadang aku berusaha menaklukkan keprihatinan dalam hati dengan berupaya berpikir rasional ingat Abraham Maslow.
Aku beprikir, iya orang kaya itu kan kebutuhannya bukan mikir makan, minum lagi, tapi sudah sampai ke level memenuhi kebutuhan penghargaan, kelas sosial atau aktualisasi sisi.
Jadi kadang aku mikir, itulah uniknya manusia, kebutuhannya serba kompleks, kadang tidak masuk akal, tapi Abraham Maslow bilang memang dipuncak tertinggi kebutuhan manusia itu salah satunya ingin memperoleh pengakuan atau di hargai.
Karena selama ini dalam bayanganku orang yang naik Moge selama ini adalah orang laya, khususnya dari kalangan pengusaha sukses.Â
Jadi maklum aja jika mereka ingin menikmati hidup naik Moge sebagai upah kerja keras mereka cari uang selama ini. Naik Moge bagi mereka aku anggap hiburan sambil sport, menikmati nuansa alam dan sebagai sarana rekreasi.