Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Ikut Pilpres Tidak Kuatir Berutang Lagi Seperti Pilgub DKI ?

12 Februari 2023   01:46 Diperbarui: 12 Februari 2023   02:05 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Kompas.Com

Judul tulisan ini memang rada "Nyeleneh", memang disengaja demikian dengan harapan mengundang rasa ingin tau yang tinggi, bukan hanya ingin membaca artikel ini, tetapi keingin-tauan terhadap fenomena pergeseran uang dalam sebuah pemilu, baik dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam pemilihan anggota legislatif.

Pembicaraan tentang sejumlah uang berupa utang Anies Baswedan karena ikut Pilgub DKI 2017 tiba-tiba viral di ruang publik. Tetapi sayang dalam membicarakannya utang itu dominan hanya dilihat dari sisi jumlah utang dan niat bayar atau tidak utang itu. Padahal ada pesan intrinsik dibalik jumlah uang yang sangat besar itu.

Jangan langsung berpikir negatif dengan langsung menganggap pesan intrinsik itu berupa ada niat untuk memburukkan reputasi Anies Baswedan dibalik dimunculkan persoalan utang yang selama ini tidak pernah terdengar oleh publik. Sama sekali tidak, lagi pula apa urusan kita soal utang itu, apalagi mengurus soal dikembalikan atau tidak dikembalikan uang tersebut bukan menjadi urusan kita, karena soal utang piutang itu awalnya merupakan konsumsi internal mereka sendiri.

Jika kemudian muncul ke permukaan, anggap sajalah itu sebagai "kecelakaan sejarah". 

Bahasa Jerman sejarah adalah Geschichte, yang artinya "Sesuatu yang telah terjadi", sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan History yang dimaknai sebagai "Masa lampau umat manusia", dari kedua bahasa itu dapat ditarik benang merah bahwa sejarah merupakan sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. 

Sebagai peristiwa masa lampau sebuah peristiwa sejarah tidak selamanya hanya layak sebagai sebuah catatan indah yang hanya perlu untuk dijadikan sebagai kenangan, tetapi peristiwa tersebut layak untuk dijadikan sebagai bahan kontemplasi atau permenungan mencari "hikmah"atau kebijaksanaan dalam menentukan langkah selanjutnya memperbaiki perjalanan kehidupan.

Semestinya munculnya beban utang karena ikut kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta oleh Anies Baswedan dianggap sebagai sebuah pengalaman buruk dan trauma yang harus dihindari terulang kembali, karena pengalaman traumatis biasanya menimbulkan perasaan tidak enak serta menyakitkan sehingga siapapun tidak ingin merasakannya kembali.

Jika pengalaman masa lalu itu tidak menimbulkan pengalaman traumatis tetapi dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dan biasa-biasa saja maka wajar tidak dihindari dan dilakukan kembali secara berulang-ulang layaknya sebagai sebuah tradisi.

Boleh jadi utang dalam jumlah besar dalam perhelatan kontestasi pemilihan umum, baik Pilkada maupun Pilpres  sudah merupakan hal biasa dan lajim terjadi sehingga bukan merupakan sebuah hal penting untuk dikuatirkan oleh Anies Baswedan untuk berniat ikut kontestasi pemilihan presiden tahun 2024. Walaupun ada kemungkinan tidak menganggapnya sebagai sebuah tradisi,

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa yang menerpa Anies Baswedan memperoleh beban utang karena ikut Pilkada DKI Jakarta merupakan sebuah contoh betapa sesungguhnya dalam pelaksanaan beberapa Pilkada belakangan ini di seluruh pelosok negeri ini sudah bukan merupakan rahasia umum bahwa setiap kandidat kepala daerah yang ikut kontestasi membutuhkan uang dalam jumlah sangat besar dan merupakan sebuah keharusan, apakah itu disebut dalam bahasa halus sebagai "cost politics" ataupun sebagai  kebutuhan untuk "money politics"

Cost Politics adalah sejumlah uang yang dibutuhkan untuk dipergunakan sebagai biaya operasional pemenangan seorang calon, baik untuk kepentingan individu seorang kandidat maupun untuk kepentingan tim dalam rangka konsolidasi dan kampanye pemenangan. Sedangkan money politics adalah dana yang dipergunakan secara lebih spesifik untuk mempengaruhi perilaku memilih konstituen untuk memilih kandidat tertentu melalui cara memberi uang maupun dengan cara memberi souvenir berbentuk barang sebagai pengganti uang.

Sudah barang tentu semua itu membutuhkan uang dalam jumlah sangat besar, apalagi untuk memenuhi sekaligus kebutuhan "cost politics" dan "money politics" yang kebutuhannya sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang tidak bisa diprediksi dengan akurat sebelumnya, dan umumnya lebih sering meleset dari perkiraan sebelumnya, yaitu kekurangan uang sehingga lajim menimbulkan utang.

Menjadi pertanyaan menarik adalah siapa gerangan yang bersedia secara suka rela menyediakan uang itu, baik dalam bentuk donasi atau pinjaman tanpa agunan. Itulah sebenarnya sebuah ruang spekulasi atau gambling yang sering dipergunakan oleh para orang yang sering disebut sebagai "Bohir", pemilik uang yang siap digelontorkan dalam rangka mendukung pemenangan seorang kandidat dalam sebuah pemilihan umum, baik dalam pilkada maupun pilpres.

Maka wajar ada beberapa orang kandidat memberanikan diri ikut kontestasi walaupun tidak memiliki uang dalam jumlah sangat besar dengan berharap akan ada bohir-bohir yang mempersiapkan uang dalam jumlah besar sebagai bentuk dukungan pemenangan. Dan untuk maju bertarung di Piplres 2024 sudah barang tentu Anies Baswedan sudah memperhitungkan itu dengan baik dan sudah yakin akan memperoleh jaringan pemilik modal.

Selain mempertimbangan potensi sumbangan uang dari para pendukungnya jangan-jangan Anies Baswedan juga sedang mempertimbangkan besaran uang yang kemungkinan bisa sebagai kontribusi bakal calon wakil presiden pendampingnya sebagaimana pengalamanya ketika berpasangan dengan Sandiaga Uno ketika bertarung memperebutkan kursi Gubernur Jakarta 2017.

Kalau itu merupakan salah satu bahan pertimbangan maka bakal calon yang mendampingi Anies Baswedan nantinya tidak cukup hanya mengandalkan membawa partai pendukung, popularitas dan elektabilitas tetapi harus memiliki dukungan uang dalam jumlah yang besar, atau sebaliknya bisa saja terjadi dibutuhkan uang dalam jumlah uang besar sebagai imbalan agar partai tertentu siap berkoalisi mendukung Anies Baswedan tanpa memperoleh jatah sebagai bakal calon wakil presiden.

Itulah segala kemungkinan yang boleh saja terjadi sebagaimana lajim berlaku dalam proses penentuan partai partai pengusung maupun dalam rangka menentukan pasangan calon kandidat dalam pemilihan kepala daerah selama ini yang boleh saja terjadi dalam proses pemilihan presiden yang akan datang.

Sebuah permenungan yang layak dilakukan di tengah pelaksanaan sistem pemilihan umum dewasa ini yang sangat liberal.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun