Tata kelola beras kita, baik tentang penyediaan stok maupun menjaga kestabilan selalu menimbulkan polemik berkepanjangan. Bahkan menimbulkan perdebatan sengit sejak dahulu sampai hari ini, tetapi tak kunjung juga menghasilkan solusi memuaskan.
Beras tetap saja jadi bahan perdebatan, terutama dalam kerangka menanggapi kebijakan pemerintah saat melakukan impor beras.
Sebagaimana lajim alasan pemerintah, impor beras dilakukan sebagai upaya menjaga jumlah stok beras perintah di Bulog sebagai mitigasi, dan untuk dipergunakan sewaktu-waktu mengantisipasi gejolak harga beras di pasar.
Alasan itu juga dipakai sebagai payung impor beras sebanyak 500 ribu ton sejak akhir tahun 2022.Â
Proses impor sudah berjalan, dan sebagian dari kuota beras itu sudah digelontorkan ke pasar sebagai upaya menjaga stabilitas harga ditengah kecilnya pasokan beras dari petani domestik ke gudang Bulog.
Namun upaya tersebut ternyata tidak efektif menjaga stabilitas harga, karena di pasar harga beras masih mahal, dan tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah.
Fenomena ini menimbulkan kontraversi serta silang pendapat antar institusi, baik kementerian perdagangan, kementerian pertanian  dan Bulog sehingga Presiden Joko Widodo sampai turun tangan membicarakannya, bahkan menyentil kementerian pertanian yang diduga menyampaikan data tidak sempurna.
Ditengah polemik tersebut, Jumat (10/2/2022) Bulog dan Kapolda Banten menangkap mafia beras dengan barang bukti sebanyak 300 ton beras oplosan dan "repacking", atau beras impor diganti baju atau goni dengan merek lokal untuk diperjualbelikan kembali di pasar domestik.
Temuan kasus ini semestinya jadi bukti, bukan sekedar dugaan lagi, bahwa tata kelola pendistribusian beras sebenarnya dikuasai oleh mafia beras atau pemburu rente (rent seeker), dan pasar oligopoli, yaitu perdagangan beras dikuasai oleh sekelompok orang yang berpengaruh menentukan kuantitas dan harga beras.
Melihat fakta tersebut, polemik yang muncul diantara kementerian perdagangan, kementerian pertanian dan Bulog tak ubahnya bagaikan puncak gunung es diatas permukaan laut.
Perdebatan diantara petinggi tersebut tidak menyelesaikan substansi persoalan sesungguhnya yang tersembunyi rapi dibawah permukaan, yaitu kelakuan mafia beras dan oligopoli sistem pasar beras.
Hal itu sudah dibuktikan oleh Bulog dan Kapolda Banten dengan menangkap barang bukti serta beberapa orang pelaku.
Penangkapan pelaku mafia beras ini jadi batu ujian keseriusan bagi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian dalam hal mengatasi persoalan sesungguhnya yang menyelimuti kegaduhan distribusi dan harga beras selama ini.
Dalam bahasa sederhana, baru saja ditemukan tikus-tikus di lumbung beras kita. Lalu apa gerangan tindakan pamungkas yang hendak dilakukan para stakeholder dunia perberasan nasional ?
Apakah penangkapan oknum-oknum pelaku mafia beras itu sudah cukup dijadikan sebagai tumbal saja tanpa ada upaya memperbaiki sistem yang efektif menghindari terulang kembali tindakan para mafia beras mencari keuntungan diatas jeritan tangis dan penderitaan rakyat.
Bila Kementerian tidak menunjukkan bukti nyata mengeluarkan kebijakan memberangus mafia beras maka kekuatiran dan kecurigaan publik selama ini yang menduga para petinggi di kementerian itu turut kecipratan untung dari para mafia beras akan dianggap mempunyai kebenaran.
Dalam alam pemikiran awam, leluasanya para mafia beras memperoleh akses terhadap beras Bulog, dan bebasnya mereka menancapkan pengaruhnya terhadap harga beras serta pendistribusiannya diyakini tidak mungkin terjadi jika tidak ada kolusi atau kerjasama tersembunyi dengan kekuatan politis tertentu.
Publik menduga memang terjadi bentuk kerjasama simbiosis mutualisme diantara semua pemangku kepentingan, antara institusi pemerintah dengan oknum-oknum pelaku mafia beras.
Selama bentuk kerjasama seperti ini belum bisa diatasi dengan tuntas maka kemelut dan polemik yang menyelimuti dunia perberasan Indonesia tidak akan pernah tuntas. Bahkan disinyalir keadaan seperti itu memang sengaja dibiarkan dan dilestarikan karena memberi keuntungan sangat menggiurkan kepada banyak kalangan.
Dengan ditemukannya dan ditangkapnya para mafia tanah jadi salah satu bukti bahwa carut marut tata kelola perberasan nasional bukan hanya faktor asimetris informasi dan data yang diberikan Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan dan BPS.
Tata kelola perberasan nasional bukan hanya ditandai oleh tanah air Indonesia terkenal subur sehingga menjadi salah satu penghasilan beras terbesar ketiga di dunia, -swasembada tapi tetap lakukan impor-, tetapi tata kelola beras kita ternyata sebagai lahan subur juga bagi oligarki pemburu rente.
Itulah salah satu persoalan krusial yang harus segera dimusnahkan jika ingin memperbaiki manajemen perberasan nasional.
Lenyapkan oligarki pemburu rente yang senang mencari keuntungan diatas penderitaan rakyat banyak. Mereka tahu betul bahwa beras sangat vital sebagai kebutuhan pokok masyarakat, dan paham bahwa kenaikan harga beras sangat rentan menimbulkan kemiskinan. Dan tau persis bahwa transmisi kenaikan harga beras tidak berpengaruh secara langsung meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil (family farm) tetapi para oligarki pemburu rente tidak peduli, dan tetap mencari keuntungan diatas penderitaan rakyat.
Bukankah hal itu sebagai salah satu bukti keserakahan manusia yang sangat penting untuk segera di bumi hanguskan dari bumi Indonesia ?
Mereka tidak ubahnya bagaikan tikus-tikus yang hidup di dalam lumbung padi petani miskin Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H