NU (Nahdlatul Ulama) salah satu organisasi umat Islam terbesar, sudah terbukti berperan penting dan konsisten merawat harmonisasi kehidupan bangsa Indonesia sejak kelahirannya hingga saat ini merayakan ulang tahun "Se-Abad".
Tercermin dari kiprah NU selama ini menjaga harmonisasi antar umat beragama, keseimbangan antara Agama dan budaya, maupun keseimbangan antara Agama dengan Negara (politik) berlandaskan nilai-nilai nasionalisme , hubbul wathon minal iman (nasionalisme atau cinta tanah air bagian dari iman), dan Islam yang rahmatan lil alamin (Ajaran Agama Islam yang universal, penuh kasih sayang, cinta, persaudaraan dan kedamaian).
Kini, di usia ke-100 tahun, wajar muncul kerinduan melihat kiprah NU di gelanggang internasional atau global. Sebuah keinginan tidak berlebihan, karena secara historis NU tahun 1926 lahir diprakarsai oleh ulama-ulama Indonesia tidak terlepas sebagai reaksi dan protes terhadap aliran Wahabi Salafi, atau gerakan pemurnian Islam yang menolak bentuk ritual atau praktek keagamaan yang dianggap telah terkontaminasi oleh budaya luar.
Gerakan Sunni Puritan atau pemurnian Agama ini didirikan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1791) merujuk tokoh inspirator dan reformis abad 14 Masehi Ibnu Taimiyah. Kemudian muncul gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yaitu gerakan yang berafiliasi dengan Wahabi. Â
Kelompok intoleransi ini menganggap semua pihak yang tidak sejalan dengan mereka disebut sebagai kafir dan musyrik, sehingga harus diperangi. Kelompok ini juga berupaya menyusup dalam pemerintahan di beberapa negara sebagai langkah mempengaruhi kebijakan pemerintah sesuai dengan keinginan mereka.
Francis Fukuyama, Profesor di Paul H. Nitze School of Advanced International Studies, Johns Hopkins University (1989) dalam risalah Akhir Sejarah, menguraikan : "paska runtuhnya komunisme maka liberalisme akan berjaya, fasisme dan komunisme dianggap sudah mati sebagai lawan bebuyutan liberalisme atau kapitalisme".Â
Pesaing ideologis yang tersisa sebagai musuh liberalisme adalah agama dan nasionalisme. Kebangkitan fundamentalisme agama dikuatirkan menimbulkan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat liberal.Â
Kontradiksi lain yang dianggap berpotensi sebagai musuh liberalisme adalah nasionalisme berbentuk kesadaran rasial dan etnik.
Kemudian Francis Fukuyama menegaskan, di dunia modern sekarang ini hanya Islam menawarkan konsepsi negara teokratis sebagai alternatif politik liberalisme maupun komunisme. Namun kebangkitan kembali agama dalam beberapa hal dianggap melahirkan ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan kekosongan spiritual masyarakat konsumeris liberal.
Liberalisme modern dipandang Fukuyama sebagai panggilan sejarah, merupakan konsekuensi dari kelemahan masyarakat berdasarkan agama gagal mewujudkan kehidupan yang baik, perdamaian dan stabilitas.
Samuel P. Huntington, Profesor of the Science of Government, and Director of John M. Olin Institute for Strategic Studies Harvard University (1993), dalam risalah Benturan Peradaban mengatkan, "Hipotesis saya adalah bahwa sumber utama konflik di dunia baru ini bukanlah ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia, dan sumber konflik yang dominan".