Presiden Joko Widodo ketika memberikan kata sambutan di Rakornas Transisi Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta (26/1/2023), menceriterakan suasana kebatinan yang dirasakan pemerintah saat pertama sekali menghadapi pandemi.
Mengangkat kembali cerita kronologi kemunculan dan upaya mengatasi Pandemi Covid 19 layak dikemukakan kembali sebagai bahan refleksi ulang, mengingatkan kembali bahwa kita pernah dilandasi ancaman kematian menakutkan dan dari fenomena itu mengantarkan kita ke rasa syukur atau mengumpatnya.
Setelah selamat dari ancaman mengerikan pandemi Covid 19, layak kita merenung siapa sesungguhnya kita sebagai manusia, serta menyadari sesungguhnya kita hidup di tengah ketidakpastian, berada di tepi jurang ancaman kematian yang setiap saat bisa saja muncul.
Itulah salah satu makna penting bahan evaluasi dan permenungan setelah kita melalui ancaman pandemi Covid 19 yang tersirat dari apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo, sehingga kita terhindar dari sikap antipati, mempolitisir kebijakan pemerintah untuk kepentingan pribadi, misalnya framing atau memviralkan Utang Negara sebagai komoditas politik tanpa mengungkit utang tersebut sebagai efek pandemi Covid 19 yang melanda semua belahan dunia ini.
Saat pertama sekali seluruh dunia diterpa pandemi covid, semua tidak memiliki pengalaman menangani Covid, pemerintah di berbagai negara, dan WHO sendiri masih kebingungan memutuskan kebijakan paling tepat.
Semua pemerintah di belahan dunia dihadapkan kepada pilihan dilematis, antara memutuskan melakukan lock down atau tidak.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam rapat Kabinet menurut penuturan Presiden Jokowi, 80 persen menteri kabinet mengusulkan dilakukan penerapan lock down.Â
Lock Down merupakan pilihan sulit dan membutuhkan kemampuan memutuskan dengan pertimbangkan berdasarkan skala prioritas, mana yang diutamakan.
Lock Down merupakan pilihan utama untuk menghindari interaksi phisik yang rentan menimbulkan penularan Virus Covid, namun disisi lain lock down juga bisa menyebabkan kelumpuhan ekonomi yang mengancam kemampuan manusia memenuhi kebutuhannya. Dilematis bukan ?
Kemudian pemerintahan Jokowi memilih tidak buru-buru menerapkan lock down karena kuatir akan menimbulkan kerusuhan atau tindakan anarkis dari masyarakat.
Bila kita lakukan kilas balik, memang benar ketika pandemi Covid 19 muncul, semua orang dirundung suasana serba ketakutan, bingung dan serta serba kuatir karena melihat kenyataan pandemi Covid 19 menimbulkan kematian dalam jumlah besar, berlangsung cepat dalam waktu singkat.
Jalanan sepi, semua orang mengurung diri di rumah. Bahkan dengan sesama anggota rumah tangga juga takut bersentuhan, menjaga jarak. Terjadi jaga jarak yang masif sehingga sesama manusia seakan tidak memiliki kedekatan emosional satu sama lain, terpisahkan bukan hanya secara phisik, tetapi menjaga jarak secara interaksi sosial.
 Di jalanan kenderaan Ambulance dengan suara sirene lalu lalang menimbulkan suasana mencekam, bulu kuduk merinding karena suara nyaring sirene bagaikan bunyi alarm peringatan bahwa kematian akan menjemput siapa saja. Masing- masing diantara kita pun berpikir sedang menunggu giliran selanjutnya dijemput kematian.
Suasana mencekam dan mengkuatirkan saat menghadapi pandemi 19 beberapa tahun lalu semestinya dijadikan bahan refleksi atau permenungan betapa kita sangat beruntung jadi orang pilihan yang masih bisa menikmati kehidupan sampai saat ini.Â
Rasa syukur dan terima kasih harus dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita luput dari kematian akibat pandemi Covid 19 yang sama sekali belum pernah muncul dalam sejarah umat manusia, sehingga semua orang pun masih bingung melakukan sesuatu untuk menghadapinya.
Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan "Naif" dan menimbulkan hati miris jika kebijakan pemerintah menangani pandemi Covid 19 saat itu tidak dihargai, dan dipolitisir hanya untuk kepentingan sempit pribadi.
Beberapa waktu lalu seorang elit partai politik memunculkan wacana dengan inti thema Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan mewariskan utang negara dalam jumlah besar.
Diskursus dan perdebatan jumlah utang negara tahun 2022 jangan dilihat mempergunakan kaca mata kuda, dalam arti hanya melihat besaran jumlahnya tanpa memperhitungkan histori  atau latar belakang penyebab hutang tersebut terakumulasi jadi besar.
Semua orang tau, pandemi Covid 19 bukan hanya menimbulkan kematian besar yang memilukan hati, tetapi menyebabkan perekonomian mengalami kontraksi, kemunduran serta defisit Anggaran Belanja Pendapatan Negara.
Ditengah keuangan negara yang defisit, pemerintah kemudian dipaksa untuk menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk menanggulangi efek pandemi serta membantu menjaga kesejahteraan masyarakat lewat bantuan sosial maupun penyediaan obat atau vaksin.
Bahkan pemerintah berupaya memberi stimulus untuk tetap menjaga dinamika perekonomian nasional. Padahal anggaran negara terkuras untuk menanggulangi pandemi serta melakukan mitigasi mengantisipasi kemungkinan terjadi kondisi lebih buruk.
Dalam kondisi demikian maka wajar anggaran pemerintah defisit karena pengeluaran lebih besar dibandingkan uang masuk akibat kontraksi ekonomi.
Mempergunakan logika awam, tidak perlu sebagai ahli ekonomi, dalam keadaan ekonomi terganggu atau mengalami kontraksi dimana sumber pendapatan lebih kecil dibandingkan pengeluaran maka organisasi apapun itu akan mengalami defisit keuangan, dan butuh upaya menutupi defisit anggaran dengan cara melakukan peminjaman dana, atau utang.
Utang negara Indonesia tahun 2022 yang sangat besar jangan dianggap sebagai kebijakan "ugal-ugalan" atau pemborosan tidak produktif. Tetapi harus disadari sebagai kondisi yang terjadi akibat tuntutan situasi kondisi yang muncul diluar kendali manusia, yaitu bencana yang mengancam kelangsungan hidup manusia dan perekonomiannya.
Melihat performance perekonomian Indonesia mengakhiri tahun 2022 dan menjalani tahun 2023 diprediksi oleh institusi keuangan internasional memiliki prospek bagus, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki peluang mangalami pertumbuhan ekonomi moderat, serta dianggap akan terhindar dari kebangkrutan semestinya jadi salah satu fenomena yang mesti di syukuri dan di apresiasi.
Kebijakan pemerintah yang telah berhasil menjaga performance perekonomian nasional, dan berhasil mengatasi efek pandemi Covid 19 merupakan sebuah prestasi yang baik walau belum bisa memberikan kepuasaan bagi semua pihak.
Oleh karena itu tidak pada tempatnya, dan tidak pantas mencari-cari kesalahan pemerintah kemudian melakukan framing utang negara tahun 2022 dalam jumlah besar dijadikan sebagai komoditi politik belaka, serta dijadikan konsumsi publik mendeskreditkan pemerintah, kemudian ingin memetik keuntungan pribadi dibalik itu.
Padahal para elite partai yang mempolitisir utang negara itu merupakan bagian elit politik yang memiliki akses ikut melakukan perencanaan penganggaran, serta menyetujui postur APBN. Bahkan mereka sebagai elit partai memiliki pengetahuan mumpuni untuk bisa memahami apa sesungguhnya faktor-faktor penyebab terjadinya defisit anggaran, dan kenapa terjadi akumulasi utang negara dalam jumlah besar.
Para elit partai itu juga mampu menilai apakah utang negara itu "Prudent" atau tidak, dan bisa menilai kemampuan mengatasi atau mengembalikan utang tersebut.
Dalam perspektif ilmu ekonomi, khususnya perbankan, hutang yang sering di defenisikan sebagai "Credit" berasal dari dari bahasa Latin "Credo" atau kepercayaan.Â
Artinya orang yang memperoleh kredit atau utang adalah orang yang dipercayai, dan hanya orang yang dipercayai memiliki kemampuan mengembalikan utang akan diberikan pinjaman ditinjau dari survey kelayakan pemberian kredit yang umumnya dinilai mempergunakan variabel  diantaranya, character, capacity, collater.
Pemerintah Indonesia mampu mendapatkan utang karena memang telah dinilai memiliki kelayakan memperoleh utang dan dianggap masih aman diberikan utang.
Kelayakan memperoleh utang oleh negara, serta utang itu dianggap prudent dapat dinilai dengan mempertimbangkan  besaran utang dibandingkan dengan Jumlah APBN.
Berdasarkan undang-undang keuangan, utang negara tidak bisa melebihi 60 persen dari APBN.
Dalam realitanya hutang negara masih relatif jauh dari perhitungan itu. Dan yang paling penting jadi pertimbangan adalah akumulasi utang negara membesar, khususnya terjadi 2 tahun terakhir, tahun 2021 dan 2022, terjadi karena efek pandemi Covid 19 yang melanda semua belahan dunia, termasuk Indonesia.
Karena itu tidak sepantasnya fenomena itu dijadikan sebagai konsumsi politik oleh kalangan tertentu.
Justru kita harus bersyukur telah mampu melalui ancaman pandemi Covid 19 yang saat kemunculannya menjadikan kita bagaikan manusia tak berdaya, kehilangan rasa percaya diri serta dihantui ancaman kematian yang bisa saja terjadi setiap saat tanpa pilih bulu, siapapun dia, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, semua memiliki kedudukan yang sama terancam oleh kematian akibat pandemi Covid 19.
Kenapa kita teramat sulit mensyukuri keselamatan yang kini kita peroleh, yaitu selamat dari pandemi Covid 19 ?
Sangat ironis dan menyayat hati jika upaya untuk selamat dari pandemi Covid 19 menimbulkan utang kemudian di politisir untuk kepentingan sempit memenangkan kontestasi Pemilu 2024.
Karena itu marilah kita mengasah mata hati nurani kita agar lebih peka melihat sesuatu dengan penuh rasa empati, yaitu memproyeksikan diri kita kedalam diri orang lain agar mampu memahami apa sesungguhnya yang sedang dirasakan orang lain, kemudian mampu memberikan sesuatu yang berarti sesuai dengan keadaan orang lain.
Jangan kepentingan politik meruntuhkan kemampuan kita berempati, kemudian menyebabkan tidak mampu melakukan Solidaritas dan Subsidiaritas karena mata hatinya diselubungi nafsu politik berkuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI