Balada sering dimaknai sebagai sebuah sajak sederhana berupa cerita kisah mengharukan, cocok disematkan kepada Bharada E atau Richard Eliezer dalam menjalani sidang tuduhan pelaku pembunuhan terhadap rekannya sendiri Almarhum Yosua Hutabarat.
Tanpa tendensi mempergunakan perspektif ilmu hukum yang merupakan domain penegak hukum dalam memutuskan vonis yang sepadan.Â
Upaya mencari keadilan tidak dapat dilepaskan dari langkah yang ditempuh oleh Eliezer beserta penasehat hukumnya sepanjang perjalanan sidang.
Harapan memperoleh keringan hukuman layak muncul dalam diri Eliezer karena dalam pertimbangan pribadinya ada sesuatu hal yang dianggap menyebabkan dirinya terjebak dalam kondisi keterpaksaan serta dibawah tekanan sehingga harus melakukan tindakan yang sebenarnya bukan merupakan keinginannya sendiri.
Sebagai seorang ajudan dan memiliki level pangkat rendah serta memiliki rentang tingkat sangat jauh dengan komandannya yang memberikan instruksi, merupakan sebuah pilihan sulit bagi seorang bawahan seperti posisi Eliezer untuk memilih menghindar dari permintaan seorang atasan.
Itulah salah satu bentuk kebiasaan buruk yang terpelihara dengan baik dalam kultur relasi antara bawahan  dengan atasan yang sering terjadi dalam sebuah organisasi, sehingga ada satu hukum tak tertulis yang berlaku selama ini berbunyi : "Pasal satu, atasan tidak pernah salah", sedangkan "Pasal dua berbunyi, jika belum mengerti baca kembali pasal satu".
Terkesan adagium itu memang sangat otoriter, dan bagaikan sebuah bentuk ketaatan buta dan irasional.
Tetapi itulah kondisi memprihatinkan dan dilematis yang sering menyelimuti posisi seorang bawahan saat dihadapkan kepada perintah maupun instruksi seorang pemimpin yang menganut budaya hirarki organisasi bersifat feodalistik.
Dalam kasus yang dihadapi oleh Eliezer saat menerima perintah, atau dalam bahasa lebih halus "menerima permintaan" untuk melakukan penembakan terhadap Yosua tidak dapat dipungkiri ada melekat unsur sifat feodalistik dalam arti adanya keharusan untuk mengabulkan apa yang diminta oleh atasannya.
Dalam kaca mata kaum awam, sulit rasanya memberikan kemungkinan bagi Eliezer mengabaikan permintaan atasannya yang terbilang memiliki posisi sangat tinggi dalam institusi yang identik dengan lembaga penegak hukum seperti institusi Kepolisian yang pada dasarnya  memiliki kuasa besar menentukan sesuatu itu benar atau salah.
Maka tidak ada pilihan saat itu bagi seorang polisi yang memiliki pangkat paling rendah seperti Eliezer untuk menghindar mengeksekusi perintah atasan. Satu-satunya jalan yang bisa dipilih adalah menerima dan melaksanakannya.
Namun dalam perspektif hukum keterpaksaan melakukan tindakan pembunuhan itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menghindar dari jeratan hukuman.Â
Sebagai pelaku akan tetap diganjar hukuman, namun bukan berarti tidak ada pertimbangan untuk meringankan hukuman. Atas nama rasa keadilan banyak faktor yang dapat dipertimbangkan sebagai variabel meringankan hukuman yang akan dikenakan.
Peluang memperoleh keringanan hukuman itulah yang sesungguhnya diharapkan Eliezer karena apa yang dilakukannya memuat unsur-unsur keterpaksaan yang menghadapkan dirinya terjebak dalam kondisi tidak mampu berpikir realistis, serta tidak mampu mendengar bisikan suara hatinya sebagai perangkat hukum tertinggi menimbang dan memutuskan sesuatu itu baik atau buruk.
Ketika menerima dan mengeksekusi perintah tersebut tidak bisa dibantah bahwa Eliezer telah mengabaikan bisikan suara hatinya, dimana suara hati merupakan salah satu alarm paling jujur serta tulus dan murni memberi petunjuk suara kebenaran.
Suara kebenaran telah terabaikan digantikan oleh tindakan perbuatan salah maka tiada alasan yang layak layak dijadikan pembenaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat, selain menerima konsekuensi hukuman yang adil dan setimpal.
Namun keadilan sesungguhnya hanya milik Allah Sang Penguasa Alam Semesta, dan kebenaran itu tidak bisa dipatok dalam sebuah defenisi yang baku karena sesungguhnya kebenaran itu relatif luas seluas pengetahuan yang belum tentu seluas pengetahuan itu sendiri.
Oleh karena itu tidak ada jalan untuk menutup pintu permohonan maaf, serta tidak layak menutup kemungkinan memberi kesempatan pengampunan bagi orang yang mengakui kekhilafan.
Richard Eliezer sudah menyampaikan permohonan maafnya kepada keluarga Almarhum Yosua Hutabarat, hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertanda adanya pengakuan atas kesalahan diri yang muncul dari dalam hati Eliezer.
Pengakuan ini dapat dianggap sebagai sebuah ungkapan rasa penyesalan dan permohonan pengampunan dosa atau kesalahan.
Bukan berarti mendukung membenarkan perbuatan salah yang dilakukan oleh Eliezer, tetapi hanya sekedar memberi secuil pertimbangan untuk mendukung pemberian kemungkinan memperoleh keringanan hukuman bagi seorang sesama anak manusia bernama Richard Eliezer.
Bentuk dukungan ini datang dari sebuah hasil permenungan membuahkan rasa empati, memproyeksikan diri ke dalam diri orang lain untuk memahami apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, sehingga mampu mempersembahkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan, situasi dan kondisi orang lain.
Akhir kata, ini hanya sebuah permenungan bagaikan sebutir pasir di tengah hamparan pasir di tepian pantai.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H