Oleh karena itu tuntutan para kepala desa dalam konteks meminta perpanjangan masa kepemimpinannya jangan dipandang tak ubahnya bagaikan keserakahan kekuasaan, tetapi perlu disadari adanya keresahan terselubung termuat dibalik kegandrungan kita melakukan pemilihan umum secara langsung atas nama demokratisasi selama ini.
Demokrasi berbentuk pemilihan langsung dalam pemilihan kepala desa tidak bisa dipungkiri menimbulkan bibit-bibit disharmonisasi kehidupan masyarakat desa, serta mengikis rasa ikatan persaudaraan yang bermetamorfosis jadi warisan konflik berkepanjangan.
Penambahan masa jabatan kepala desa dengan alasan butuh waktu memperbaiki warisan konflik berkepanjangan tidak cukup dijadikan hanya sebagai alasan, tetapi harus dicarikan solusi terbaik sebagai jalan alternatif menghindari timbulnya konflik yang menimpa masyarakat desa itu sendiri.
Jangan-jangan yang dibutuhkan masyarakat desa saat ini sesungguhnya bukan pemilihan kepala desa secara langsung sebagai bentuk legitimasi kekuasaan kepala desa selama sembilan tahun.
Sebuah permenungan menarik ditengah dilema pemilihan kepala desa secara langsung bukan hanya sekedar perpanjangan masa jabatan kepala desa, tetapi butuh pendekatan lebih lembut untuk mengembalikan masyarakat desa ke habitat awal sebagai masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan kental.