Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SARINAH Bung Karno : Selaksa Apresiasi Buat Perempuan Indonesia (1)

3 Desember 2022   01:09 Diperbarui: 4 Desember 2022   23:16 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Courtesy : pixoto.com images-portraits-of-women/gadis-desa

Bung Karno bukan hanya memformulasikan Marhaenisme sebagai philosopi perjuangannya untuk mengangkat harkat martabat masyarakat miskin yang tereksploitasi oleh kapitalisme dan imperiliasme.

Tetapi memiliki perhatian penting juga terhadap keberadaan perempuan Indonesia yang kemudian disebut sebagai SARINAH.

Setelah banyak mempelajari tentang peran perempuan,  dan aliran yang muncul tentang perjuangan perempuan, peranan perempuan "Most Debated" atau bagian yang paling menimbulkan pertikaian menurut Bung Karno. Sehingga soal perempuan merupakan hal pelik dan dilematis, tetapi mesti dipecahkan sebagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bicara tentang posisi perempuan, Bung Karno menegaskan "Jangan tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, dan jangan pula terikat dengan cara konservatif atau rasa sempit. Tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya.

Bung Karno mengutip pendapat Henriette Roland Holst, Gerakan feminisme maupun gerakan neo feminisme yang ingin menyamakan semua hal antara laki-laki dan perempuan, dianggap tidak mampu menutup "Scheuer" atau keretakan peri-kemanusiaan atau jiwa perempuan ketika terlibat ikut mencari nafkah (bekerja) di luar rumah. 

Aktivitas perempuan di luar rumah justru sering menjadikan mereka sebagai ibu dan istri tidak lebih sempurna.

Gerakan feminisme di Eropah menurut Bung Karno tidak memperhatikan "Ekses" ("keliwat Batasan") yang ingin menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan tanpa mengingat bahwa kodrat laki-laki tidak sama dengan kodrat perempuan.

Diawal buku Sarinah, Bung Karno terlebih dahulu menyoroti sikap kolot atau konservatif sebagain besar laki-laki dalam memperlakukan perempuan. Memberi contoh seorang laki-laki yang memposisikan istrinya cukup hanya berada di belakang layar, atau menjadikan istri hanya sekedar mengurus rumah tangga, dan terkekang bagai burung dalam sangkar.

Dalam kunjungannya bertamu ke tempat sahabatnya, seorang pemilik warung. Ketika istri teman Bung Karno yang turut juga berkunjung mempertanyakan keberadaan istrinya, pemilik toko itu mengatakan bahwa istrinya tidak berada di rumah karena sedang merawat saudaranya yang sedang sakit.

Ternyata secara diam-diam, Bung Karno memperhatikan ada sosok seorang perempuan yang berada di balik tirai pemisah ruang antara toko dan ruangan rumah belakang. Bung Karno kemudian berasumsi bahwa sahabatnya pemilik toko itu memperlakukan istrinya secara diskriminatif, yaitu tidak bisa berinteraksi dengan orang lain, hanya berperan sebagai orang rumahan, sehingga tidak mengijinkan istrinya untuk bertemu dengan tamu yang datang ke rumahnya.

Pengalaman ini membuat Bung Karno menyimpulkan bahwa perempuan Indonesia harus memiliki kemerdekaan dan terhindar dari perlakuan diskriminatif.

Dan ada pula laki-laki sangat memproteksi istrinya atas nama terlalu cinta, sehingga tanpa disadarinya telah merampas kemerdekaanya, karena memperlakukan istrinya tak ubahnya "Sebagai Butir Mutiara".

Menurut Bung Karno, banyak suami-suami yang terlalu menghargakan istrinya seperti mutiara, tetapi sebenarnya merusak, atau sedikitnya mengurangi kebahagian istrinya.

Kesimpulan ini diperoleh Bung Karno setelah mendengar curhatan istri sahabatnya yang mengeluh karena merasa terkurung, padahal sepengetahuan Bung Karno sahabatnya itu memiliki pemikiran modern karena berprofesi sebagai seorang guru.

Ketika Bung Karno menyampaikan keluhan istrinya, dan menyarankan agar tidak terlalu mengekang istrinya, sahabatnya itu mengatakan bahwa dirinya teramat menyanyangi istrinya dan ingin menjaga martabat istrinya, serta tidak ingin martabat istrinya rusak bila terlalu bebas bergaul dengan orang lain.

"Percayalah Bung, saya tidak ada maksud untuk mengurangi kebahagiannya. Saya hargakan dia sebagai sebutir Mutiara" Jawab sahabat Bung Karno.

Kemudian Bung Karno menyimpulkan, banyak laki-laki bersikap seperti sahabatnya itu, memuliakan istri mereka yang sangat cintai sebagai barang berharga, mereka "pundi-pundikan" istrinya seperti menyimpan mutiara, tetapi sebagai mana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya itu dalam kurungan atau pingitan.

Bukan untuk memperbudaknya, dan bukanuntuk menghinanya dan bukan untuk merendahkannya tetapi untuk menjaganya, menghormatinya dan memuliakannya. Meminjam istilah Profesor Havelock Ellis yang berkata bahwa banyak laki-laki memandang perempuan sebagai "suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol", yaitu perempuan dianggap bagaikan seorang dewi namun disisi lain dianggap sebagai orang tolol.

Itulah dilema pandangan laki-laki terhadap perempuan yang sering menimbulkan perdebatan kontraversial baik menurut cara pandang kalangan moderat maupun tradisional.

Walaupun bicara tentang peranan perempuan sangat pelik dan dilematis, Bung Karno menekankan bahwa persoalan perempuan adalah soal masyarakat dan negara yang teramat penting.

Karena bicara soal negara harus bicara soal laki-laki dan perempuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dalam persoalan negara.

Hal itu dipertegas Bung Karno dengan mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, "Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri".

Oleh karena itu soal perempuan bukan hanya persoalan bagi perempuan tetapi merupakan persoalan tentang masyarakat dan negara, persoalan perempuan sama tuanya dengan masyarakat, persoalan perempuan juga sama tuanya dengan persoalan kemanusiaan.

Harmonisasi kehidupan hanya akan tercapai apabila keduanya, laki-laki dan perempuan tidak dipertentangkan, itu adalah persoalan kemanusiaan, dan persoalan kemanusiaan akan tetap semakin panjang apabila keduanya tetap dipertentangkan.

Oleh karena itu tidak boleh ada yang satu berada diatas yang lain, tetapi keduanya harus sejajar - sama derajat -, yang satu disebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain, tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri.

Siapa yang melanggar kodrat alam akan dilibas oleh alam itu sendiri sampai remuk redam, pungkas Bung Karno dalam bab 1 buku Sarinah yang bicara "Soal Perempuan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun