Secara kasat mata memang dapat terlihat bahwa selama kepemimpinan Jokowi di DKI Jakarta sampai hari ini belum ada terlihat proyek mercusuar atau proyek besar mengagumkan yang dilakukan oleh Jokowi. Yang sering terpublikasikan hanya seputar kebiasaan Jokowi melakukan blusukan, upaya perbaikan waduk atau meninjau gorong-gorong, menambah jumlah bus transjakarta, dan yang dianggap lumayan baik hanya keberhasilannya menata pasar Tanah Abang. Semua yang dilakukan Jokowi itu benar bukan merupakan proyek baru ciftaan Jokowi, tetapi hanya berupaya memperbaiki atau melanjutkan yang sudah ada sebelumnya.
Tetapi bercermin dari keinginan masyarakat yang cenderung terus meningkat untuk mendukung Jokowi sebagai calon presiden, tersirat pesan bahwa Jokowi memang bukan orang hebat, Jokowi Cuman Orang Biasa, Sama seperti masyarakat biasa, sehingga masyarakat juga suka dengan orang biasa ini.
Pesan yang bisa dipetik dari cerita tentang yang biasa-biasa ini adalah, ternyata sekarang masyarakat umumnya merindukan pigur pemimpin yang biasa-biasa saja. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang elitis, feodal dan gila penghormatan. Masyarakat sudah muak dengan pemimpin yang berupaya sekuat tenaga mempertahankan kehormatannya dan akan memberi reaksi apabila kehormatannya terusik.
Anthesis kepemimpinan penuh pencitraan itu bagaikan ditemukan masyarakat dalam sosok atau pigur Jokowi yang sering tampil apa adanya, bicara dengan tutur kata sederhana, suka berbaur dengan sesama umat manusia yang dipimpinnya, bahkan tidak jarang menabrak aturan protokoler agar bisa menyapa dan dekat dengan masyarakat.
Berbicara tentang layak atau tidak Jokowi menjadi calon presiden Indonesia, tidak bisa dilupakan adanya timbul keinginan sederhana masyarakat ini, yaitu merindukan pemimpin yang dianggap dekat dengan masyarakat dan mau mendengarkan keluh kesah masyarakat, serta lebih mengutamakan tindakan daripada keindahan orasi atau pidato. Keinginan sederhana masyarakat inilah yang sering membedakan cara berpikir diantara para elit politik maupun kalangan menengah atas yang berpendidikan dengan masyarakat biasa. Sehingga wajar jika banyak muncul statement yang mengarah kepada upaya mendeskreditkan Jokowi dan pendukungnya, dan menyalahkan media massa sebagai pihak yang terlalu membesar-besarkan kepemimpinan Jokowi.
Dalam konteks ini, perbedaan pandangan dan sikap yang ada harus diterima dengan berpikir matang, dan diterima sebagai sebuah kenyataan dalam berdemokrasi. Salah satu ciri khas hidup demokratisasi adalah perbedaan pendapat itu, dan melalui sistem pemilihan umum dilakukan penentuan kerangka pemikiran yang mana paling dominan untuk sebagai sistem paling demokratis sampai saat ini menentukan pendapat umum.
Layak atau tidaknya Jokowi sebagai the next president semestinya diuji dan dikembalikan kepada proses pemilihan umum presiden yang akan datang, jika dalam pilpres memang Jokowi tidak menang maka itulah kenyataan sesungguhnya keinginan umum masyarakat. Dan sebaliknya, apabila melalui Pilpres ternyata Jokowi terpilih maka itulah realita bahwa masyarakat ternyata membutuhkan seorang pemimpin yang biasa-biasa saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H