Bukan saat ini pertama sekali Bangsa Indonesia direpotkan oleh perkara “Tempe”, kelangkaan pasokan penjualan tempe kali ini erat kaitannya dengan harga kedelai yang melambung tinggi sehingga dianggap para pengusaha tempe tidak menguntungkan lagi. Sebagai salah satu bentuk kekecewaan pengusaha tempe terhadap sikap pemerintah yang tidak mampu menata harga kedelai maka berulang kali pengusaha tempe melakukan demonstrasi serta mogok menjual tempe.
Berbicara tentang tempe sudah sejak lama tidak dapat dipisahkan dengan atmosfir kehidupan Bangsa Indonesia,tempe merupakan salah satu makanan familier bagi masyarakat Indonesia, dan sudah menu makanan khas yang diperkirakan telah di konsumsi masyarakat sejak abad ke-16. Maka wajar jika tempe sangat melekat dengan kehidupan rakyat Indonesia, dan memiliki peranan sensitif untuk mengusik rasa ketidakpuasaan masyarakat.
Tempe bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar sebuah makanan karena kata tempe memiliki arti penting, hal ini dapat kita simak dalam salah satu petikan Pidato Bung Karno Bapak Proklamator dan salah satu The Founding Father Bangsa Indonesia :
"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
Bung Karno membuat asosiasi tentang tempe untuk menegaskan agar rakyat Indonesia jangan menganut sikap inferior merebut kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan untuk mengangkat derajat bangsa setara dengan bangsa lain, baik secara institusi negara maupun sumber daya manusia-nya. Kata-kata yang diutarakan oleh Bung Karno itu sangat penting sebagai pemicu motivasi bagi seluruh pemangkukepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menilik kehidupan sehari-hari Bung Karno yang justru memilih tempe sebagai makanan kegemaran sehingga tidak pernah kosong dalam menu makanan di Istana, maka dapat dikatakan bahwa mempergunakan tempe sebagai istilah dalam pidato tersebut bukan berarti mengecilkan arti tempe sebagai sebuah kiasan tentang suatu hal buruk. Mempergunakan kata tempe untuk memberi gambaran keadaan tertentu sudah sejak lama dipergunakan oleh tidak masyarakat. Hal ini kerap kita dengar dengan istilah seperti “mental tempe” atau “pasukan tempe” untuk menunjukkan sikap seseorang yang identik dengan hal-hal negatif seperti cengeng, mudah menyerah atau lembek.
Selain menarik membicarakan tentang makna luas dari sebuah kata tempe, ternyata tempe selain memiliki peran sebagai makanan pavorit bagi sebagian besar masyarakat, makanan hasil fermentasi dari kedelai ini ternyata pernah menjadi malaikat penyelamat bagi bangsa Indonesia pada tahun 1945 hingga akhir tahun 1960-an, yaitu menyelamatkan rakyat Indonesia dari penyakit kurang gizi dan busung lapar dan menyelamatkan tahanan perang dunia II yang ditawan Jepang, sehingga tempe seakan identik dengan makanan murah atau makanan rakyat kecil.
Uniknya, sampai hari ini tempe ternyata menjadi sumber perdebatan hangat bagi masyarakat dan elit politik, disatu sisi kenaikan kedelai menimbulkan efek besar untuk mengganggu pola konsumsi masyarakat dan sangat bertolak belakang dengan predikat bangsa Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, tetapi kesulitan memenuhi pasokan kebutuhan kedelai sebagai bahan baku tempe karena sangat tergantung pada tempe impor. Tetapi disisi lain tempe ternyata komoditi impor “seksi” yang mampu menarik minat pengusaha rent seeker untuk larut berkecimpung dalam tata niaga impor kedelai, karena perolehan margin keuntungan yang tinggi ini maka banyak pihak yang memiliki kepentingan terselubung dalam tata niaga ini.
Oleh karena itu, jika berbicara tentang perbaikan pasokan dan tata niaga kedelai akan menyerempet kepentingan besar yang menyelimutinya, ironisnya kepentingan itu tidak hanya milik pengusaha dalam negeri tetapi sangat memiliki kaitan erat dengan kepentingan perdagangan internasional maupun perusahaan transnasional. Sehingga tata niaga kedelai ini sebenarnya mengandung strategi dan taktik politik pertanian yang didalamnya terselubung kepentingan besar para elit penguasa dalam negeri dan penguasa negara lain.
Menilik panjangnya sejarah peran kedelai dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks pemenuhan kebutuhan salah satu jenis makanan rakyat, semestinya tanaman kedelai sudah sejak dahulu menjadi salah satu komoditi pertanian yang memiliki arti penting disamping padi atau beras bagi bangsa Indonesia, khususnya menjadi produk hasil pertanian yang memiliki perhatian khusus, di proteksi bahkan di subsidi oleh pemerintah. Tetapi pada kenyataannya komoditi pertanian kedelai ini tidak ubahnyan bagaikan anak tiri tetapi dimanfaatkan sebagai produk berupa tambang menggali keuntungan besar dari kelangkaan tersebut.
Berbicara tentang perbaikan suplay atau pasokan maupun tata niaga komoditi pertanian tempe tidak cukup hanya dilakukan dengan instrumen ekonomi belaka seperti menggenjot Perum BULOG melakukan impor kedelai dengan alasan memenuhi jumlah pasokan dan permintaan dalam negeri, tetapi kebijakan itu harus diikuti oleh kekuatan politik pertanian pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri memang Perum Bulog merupakan institusi yang memiliki fungsi untuk memenuhi dan menjaga stabilitas pasokan kebutuhan pokok bahan makanan masyarakat, tetapi tidak bisa dilupakan bahwa perubahan menjadi berbentuk Perum bagi Bulog tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan politik yang menyertainya, yaitu politik bermuatan pengebirian fungsi Bulog, dengan badan hukum yang baru ini maka Bulog tidak jauh berbeda dengan perusahaan niaga lain yang berorientasi kepada mencari keuntungan. Bulog saat ini tidak memiliki kemampuan kuat seperti dahulu untuk melakukan stabilitas harga produk pangan.
Fungsi Perum Bulog yang rada mandu melakukan keseimbangan harga ini merupakan salah satu produk atau anak kandung liberalisasi system perdagangan dalam negeri yang diadopsi pemerintah Indonesia karena desakan politik perdagangan internasional, dan pemerintah ikut latah menerima desakan lembaga perdagangan internasional sebagai salah satu bentuk menunjukkan diri sebagai bagian tidak terpisahkan dari kerjasama perdagangan dunia.
Kembali kepada arti kiasan “Bangsa Tempe”, pada esensinya bangsa Indonesia jangan merasa inferior atau seakan bangsa kerdil dibandingkan dengan negara lain, tetapi menunjukkan sikap kesetaraan itu tidak mesti harus menerima semua kesepakatan internasional yang merugikan posisi Indonesia. Kebesaran bangsa Indonesia sewajarnya ditunjukkan melalui prinsif politik luar negeri yang bebas dan aktif sehingga dalam setiap dialog tidak mesti selalu memilih sepakat karena sepakat untuk tidak sepakat juga merupakan salah satu manifestasi demokratisasi proses dialog, artinya kebijakan dalam interaksi politik internasional hanya kita terima apabila hal itu melindungi kepentingan dalam negeri Indonesia.
Ironisnya, sebagai salah satu contoh kecil, Amerika sebagai salah satu negara super power dan merasa sebagai salah negara paling liberal dan demokratis di seluruh penjuru dunia pada kenyataannya masih memproteksi dan memberikan subsidi bagi komuditi pertanian mereka. Lalu kenapa kita yang identik dengan negara agraris serta mengandalkan komoditi pertanian sebagai andalan motor penggerak pertumbuhan ekonominya justru semakin melakukan liberalisasi bidang pertanian dan mengurangi berbagai bentuk subsidi untuk industri pertanian ?
Inilah fenomena kegamangan politik pertanian Indonesia saat ini, tengah berada dalam posisi labil alias tidak memiliki format jelas untuk kepentingan dalam negeri dan rakyat. Setiap kali terjadi kenaikan harga kedelai maupun komoditi impor kebutuhan pokok dalam negeri seperti bawang dan sapi maka pemerintah bagaikan terjebak dalam upaya memperbaiki benang kusut. Selain bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang mengandalkan sector pertanian dan perkebunan justru kelangkaan pasokan komoditi pertanian tersebut menjadi lahan basah bagi orang atau kelompok tertentu untuk mencari keuntungan, ibarat kata kiasan “Justru mencari keuntungan diatas penderitaan orang lain”
Sudah jamak kita dengar setiap kali terjadi kelangkaan pasokan komoditi tertentu justru menjadi lahan bisnis empuk bagi pihak tertentu, selain cerita tentang kenaikan harga pasokan komoditi pertanian, masih segar dalam alam pemikiran kita tentang drama konspirasi korupsi pengadaan sapi beberapa waktu lalu. Ketika masyarakat kesusahan dan menjerit menghadapi harga daging sapi untuk konsumsi lebaran justru disitulah para elit politik yang mengaku sebagai politikus paling bersih berselancar mencari keuntungan pribadi dan kelompok, Ironis sekali dan menyayat perasaan terdalam hati nurani rakyat.
Bercermin dari sekilas catatan kecil yang berasal dari rakyat biasa ini kiranya menjadi sebuah cermin dan bahan permenungan bagi para pemangkukepentingan tata niaga komoditi pertanian untuk mencari jalan terbaik memperbaiki tata niaga dan pasokan kebutuhan pokok masyarakat, dan yang terpenting diantara semua wacana yang mengemuka tentang perbaikan itu, untuk melakukan perbaikan itu harus di dukung oleh kemampuan dan kekuatan politik pemerinta. Sektor tata niaga komoditi pertanian tidak cukup dilakukan melalui pendekatan dimensi ekonomi belaka tetapi harus dilakukan melalui pendekatan multidimensional, terutama dimensi politik !!!
Dimensi politik perbaikan sektor komoditi pertanian tidak ada salahnya kita merenungkan kembali apa yang pernah di utarakan Bung Karno tentang Trisakti, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya, untuk stabilisasi harga komoditi pertanian dibutuhkan kebijakan berdikari di bidang ekonomi, tetapi diatas semua itu harus berdaulat secara politik agar bangsa Indonesia tetap mampu mempertahankan kepribadiannya secara sosial budaya untuk mampu mengkonsumsi tempe untuk asupan gizi tinggi walau bukan berarti sebagai bangsa tempe.
Mumpung tidak lama lagi proses pemilihan umum memilih calon anggota legeslatif dan pemilihan Presiden, bercermin dari “seksi-nya” peranan tempe bagi masyarakat Indonesia umumnya, maka tidak berlebihan jika dalam memutuskan memberi pilihan nantinya perlu tetap diingat bahwa pigur calon yang akan dipilih nantinya hendaknya bukan “Pemimpin Bermental Tempe”, sebisanya pilihlah calon yang tidak bermental tempe tetapi memiliki kepedulian terhadap ketersediaan tempe. Walau tempe boleh jadi di mata mereka hanya merupakan makanan kecil untuk orang kecil, tetapi tidak bisa dilupakan bahwa kecil itu adakalanya indah, karena bagaimana calon pemimpin itu bisa menyelesaikan persoalan besar bangsa ini apabila hal yang dianggap mereka hanya kecil justru luput dari kepedulian mereka.
“Bebek berjalan berbondong-bondong,
akan tetapi burung elang terbang sendirian.”
INDONESIA MENGGUGAT, Pidato Pembelaan Bung Karnio di Muka Hakim Kolonial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H