Mencermati fenomana politik praktis menjelang Pemilihan Umum, tanggal 17 April 2019, selalu saja ada hal yang menarik untuk dikaji setiap hari. Salah satu fenomena yang cukup menyedot perhatian banyak kalangan dalam satu dua hari ini tentang 3 ibu di Kerawang yang melakukan kunjungan rumah ke rumah untuk mengajak warga agar tidak memilih Jokowi.
Fenomena itu viral di media sosial dan sontak memantik reaksi dari berbagai pihak. Berita tentang hal ini dapat disimak dari beberapa media online, antara lain: merdeka.com, 26-27/02/2019; cnnindonesia.com, 26/02/2019; viva.co.id, 26/02/2019; dan sejumlah media online dan elektronik yang dapat diakses secara langsung oleh siapapun.
Dilansir merdeka.com, 26/02/2019 bahwa ketiga ibu itu telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, serta akan diproses lebih lanjut secara hukum. Dikutip dari merdeka.com, 26/02/2019,
Sebelum ditangkap, aksi tiga ibu diduga melakukan kampanye hitam door to door terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin terekam kamera. Dalam video yang akhirnya viral itu, ketiganya menyebut, bila Jokowi menang maka suara azan di masjid dilarang, tidak ada lagi yang memakai hijab, dan pernikahan sejenis dibolehkan.
Ketiga tersangka kampanye hitam tersebut berinisial ES (49), IP (45), dan CW (44). Mereka berasal dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Terkait dengan hal itu, banyak pihak menduga bahwa ada dalang di balik kejadian ini. Oleh karena itu Cawapres Ma'ruf Amin meminta untuk mengusut aktor intelektualnya. Hal ini dapat ikuti dari berita viva.co.id, 26/02/2019:
"Saya kira itu harus terus diproses karena harus dicari aktor intelektualnya. Sebab kalau tidak ini (diproses) bakal ada lagi keluar," kata Ma'ruf di sela kegiatannya di Kuningan, Jawa Barat, lewat siaran pers Tim Kampanye Nasional (TKN), Selasa 26 Februari 2019.
Ia mengajak seluruh masyarakat tak mudah percaya informasi yang belum tentu benar. Tidak hanya itu, dirinya pun mengajak kepada seluruh pihak untuk mengedepankan kampanye bersih dan santun.
Mencermati keberadaan 3 ibu yang bukan pengurus parpol dan juga bukan anggota tim kampanye itu, namun cukup berani berkunjung dari rumah ke rumah sebagaimana berita di atas, hal menarik untuk dikaji adalah apa motif dari 3 ibu tersebut?
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, diketahui bahwa motif adalah alasan atau dorongan yang menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Salah satu dugaan tentang motif dari 3 ibu melakukan hal itu, adalah "semangat dan emosi untuk memenangkan capres junjungannya". Dugaan ini sangat jelas terungkap dari pengakuan Ibu Heriyani (ibu dari salah satu pelaku), yang diberitakan merdeka.com, 27/02/2019:
Menurut Hariyani, anaknya hanyalah pihak yang terbawa suasana panas Pilpres 2019 sehingga bisa khilaf dalam melakukan hal tersebut, dengan cara menyampaikan hal-hal seperti yang beredar pada video yang beredar di masyarakat.
Lalu apa salahnya jika seseorang bersemangat untuk memenangkan capres yang didukungnya?
Hal itu jelas sangat tidak salah. Sudah pasti bahwa setiap pendukung sangat menginginkan agar capres junjungannya memenangkan kontes politik tahun 2019 ini.Namun demikian, hal yang mesti diperhatikan adalah agar dalam melakukan propaganda politik, mesti disertai dengan pemahaman politik yang memadai.
Siapapun tidak cukup hanya dengan bermodalkan "semangat tinggi" lalu boleh melakukan apa saja untuk mencapai tujuan, dan tidak memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Pemahaman yang kurang atau masih terbatas tentang politik praktis, tidak cukup untuk membuat seseorang terjun bebas ke dalam politik praktis. Jika ingin terjun secara langsung ke arena politik praktis, sebaiknya mendaftarkan diri sebagai anggota parpol atau tim kampanye agar senantiasa diberi pemahaman, mudah dikontrol dan sering diberikan pembekalan maupun peringatan-peringatan tentang hal-hal pantas dan tidak boleh dilakukan dalam berkampanye.
Sangat disayangkan tiga ibu yang bukan anggota tim kampanye itu, telah menjadi korban dalam segala ketidaktahuannya tentang politik praktis. Kita bisa membayangkan betapa beratnya beban psikologi yang mereka harus pikul akibat perkara ini.
Bercermin dari kejadian itu, hal penting bagi kita semua, terutama para pihak yang masih awam politik:
Pertama, tak usah ikut-ikutan menjadi kaki tangan dari pihak manapun, terutama jika tidak memiliki legitimasi yang sah. Ikuti saja proses politik dengan benar sesuai status kita masing-masing, sambil menanti tanggal 17 April 2019 untuk menjatuhkan pilihan politik yang sesuai dengan pertimbangan hati nurani masing-masing.
Kedua, jika ingin terlibat dalam politik praktis, maka perlu mempersenjatai diri dengan baik sebelum masuk dalam arena politik yg penuh intrik dan makin panas itu. Siapun, ia perlu memiliki pengetahun yang memadai tentang politik.
Pelajari berbagai referensi politik, lalu membangun diskusi-diskusi cerdas dengan sesama tim atau siapapun yang dianggap dapat membantu meningkatkan wawasan politik. Teman diskusi yang saya sarankan adalah orang yang memiliki wawasan cukup atau lebih, tetapi juga tetap jernih dan obyektif agar ia tidak mengotori pikiranmu dengan hal-hal yang tak pantas.
Ketiga, jika sudah sah menjadi salah satu anggota tim kampanye atau sebutan lainnya, biasakan diri untuk berkampanye dengan benar. Batasi diri untuk tidak mencampur aduk politik dengan hal-hal lain, apalagi dengan hal-hal yang sensitif.
Keempat, kepada aktor intelektual berhentilah memanfaatkan keluguan warga, terutama ibu-ibu yang minim pemahaman politiknya.
Kelima, kepada kaum aktifis perempuan jangan diam di kala kaummu menjadi korban atas ketidaktahuannya. Dampingi mereka, beri mereka penguatan dan dukungan moril.
Lagi-lagi saya menghimbau kepada semua pihak, mari menjalani seluruh proses demokrasi politik sesuai dengan etika dan moral politik yang berlaku. Urusan capres siapa yang menang atau kalah, hal itu merupakan kewenangan mutlak dari warga untuk memilih yang terbaik.
Salam demokrasi...!
Daud Amarato D.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H