Dalam sebuah tulisan saya yang berjudul Inilah gaya hidup anak muda Jogja saat ini, saya uraikan bahwa di Jogja ada kegiatan bersepeda di hari Jumat terakhir pada setiap bulannya, dengan nama Jogja Last Friday Ride (JLFR), sebuah kegiatan yang sangat positif, yang bisa mengurangi atau menghilangkan kegiatan negatif anak muda di Jogja yang kadang bahkan sudah ada yang terjerumus dengan obat-obatan terlarang.
Kegiatan tersebut bukan hanya sekedar kegiatan bersepeda saja, melainkan juga kegiatan sosial, diantaranya adalah membuat tong sampah secara swadaya yang diletakkan di sepanjang jalan Mangkubumi; juga kegiatan membantu para pengemudi “becak kayuh” yang keberlangsungan hidupnya semakin tergeser oleh becak motor yang makin menjamur dan sepertinya malah akan dilegalkan oleh pemerintah kota Jogja.
Dan yang terakhir ini adalah kegiatan/aksi perbaikan sarana sepeda, yaitu perbaikan beberapa ruang tunggu sepeda di Jogja yang hampir hilang keberadaannya entah karena catnya sudah tergerus ataupun tertutup aspal baru …
Dan aksi (pengerjaan ruang-ruang tunggu sepeda) tersebut dilakukan karena walikota Jogja yang pada tanggl 6 oktober 2012 pernah berjanji akan segera memperbaikinya dengan ‘segera”, namun hingga tulisan ini saya publish realisasi tersebut belum dilakukan, dan para pesepeda Jogja tersebut merasakan bahwa respon walikota sangat lambat, maka mereka memutuskan harus segera mengerjakannya sendiri, mereka punya pikiran bahwa dengan atau tanpa peran pemerintah masyarakat tetap berdaya!
Baik itu secara material maupun moral!
Maka dimulailah aksi tersebut ...
Mereka menolak karena mereka masih mampu!
Dan disaat aksi tersebut tercium media masa dan masuk dalam berita secara berturut-turut di koran koran lokal Jogja dalam beberapa hari ini, ada respon dari ketua DPRD Jogja yang menyatakan mendukung aksi tersebut dengan jalan ingin menyumbangkan satu bulan gajinya sebesar 10 juta untuk aksi tgersebut.
Disinilah letak keberdayaaan, kemandirian dan karakter kuat para penggiat sepeda dan street art tersebut
Mereka menanggapi keinginan ketua DPRD tersebut dengan cara menolak bantuan tersebut.
Dan alasannya adalah agar tidak merusak konsep kemandirian masyarakat.
Menurut meraka kucuran dana jutaan rupiah dari legislatif tersebut justru tidak mendidik dan hanya akan mematikan gerakan masyarakat untuk mandiri. Juga terjadinya kekhawatiran bila sumbangan tersebut diterima, akan merubah sudut pandang publik, seakan-akan aksi tersebut diwarnai kepentingan politik.