Mohon tunggu...
dwi agus
dwi agus Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"bermimpilah.. karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu ..."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Jengkal Taman Hati

3 April 2012   03:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada jengkal taman hati ...

Bunga-bunga luka tumbuh. Mendesak keluar, lalui jendela-jendela jiwa. Di sana, Cinta Maharani berdiri. Menatap kosong semak-semak penuh duri. Angannya terkembang. Terbang. Menyibakkan semak luka di taman hati. Mengurai segala cerita yang tersembunyi. Cerita itu menyemikan satu tubuh. Menumbuhkan satu sosok laki-laki dengan bunga luka di tangannya. Cinta Maharani merasakan suatu ikatan yang sangat kuat antara dirinya dan laki-laki itu. Ya, laki-laki itulah yang telah menancapkan bunga luka di salah satu jengkal taman hatinya. Masih lekat dalam ingatan Cinta, dikala lelaki itu meminta sebagian jengkal taman hatinya. Memaksa Cinta melayani nafsunya. Namun, Cinta menolaknya. Meronta. Memberontak. Sia-sia. Cengkeraman lelaki itu terlalu kuat. Cinta berteriak. Gagal! Teriakannya tak kuasa melawan suara tarikan nafas lelaki itu, yang terus memburu tubuhnya penuh nafsu.

Diri tak lagi sanggup bertahan. Cinta menyerah. Ia pejamkan kedua matanya. Senyum lelaki itu pun mengembang. Otak kotornya bekerja. Penuh dengan rencana-rencana busuk. Rencana yang disusun dan dijalankan atas perintah Sang Nafsu.

Puas! Hasrat terselesaikan. Nafsu tersalurkan.

Cinta merasa muak. Jijik. Ia mencoba menikmati. Tak bisa! Justru kekecewaan yang begitu mendalam tengah menerpa jiwanya. Menyapu seluruh putik-putik bunga bahagia di taman hatinya. Sesungguhnya lelaki itu adalah ayah kandungnya sendiri!

Ini adalah salah satu tragedi. Ya, hanya salah satu dari sekian banyak tragedi serupa. Cinta hanya satu dari berjuta-juta perempuan yang terluka. Apakah Cinta, dan  kaum hawa yang lain, memang tercipta sebagai tempat terindah bagi kaum adam untuk memuaskan segala keinginannya? Apakah ini hanya karena hawa diciptakan dari tulang rusuk adam?

Tidak! Justru penciptaan hawa dari tulang rusuk Adam, sebagai pertanda betapa mulianya kedudukan Hawa di mata Adam. Betapa tingginya derajat Hawa di sisi Adam. Bukankah Hawa adalah manusia pertama yang setia menemani Adam dalam pengembaraannya di dunia? Hanya saja, saat ini para lelaki lupa terhadap hakekat dirinya sebagai Adam, yang berkewajiban membimbing Hawa menuju taman surga. Inilah hakekat Hawa sebagai tulang rusuk Adam, yakni bersama-sama, beriringan menuju jalan kebenaran. Jalan yang bermuara pada telaga-telaga nirwana.

Cinta bimbang. Taman hatinya terguncang. Bunga-bunga suka berguguran. Ada tetes-tetes embun pagi pada setiap helai daun bunga di taman hatinya.

Mungkinkah semua ini merupakan bagian dari rencana besar Sang Pencipta untuknya? Jika demikian, mengapa Dia, Yang Maha Bijaksana, melakukannya? Ya, mengapa harus memilih dirinya? Mengapa harus Cinta Maharani?

Dalam kondisi seperti itu, ada secercah sinar yang menerobos, masuk melalui jendela terdalam di taman hatinya. Sinar itu memantulkan kejujuran hati, kebeningan jiwa, dan kebersihan nurani. Pantulannya tepat mengenai pusat akal Cinta. Taman ha-tinya terasa segar kembali. Bunga-bunga sukacita bersemi. Mereka terus tumbuh. Menjulang. Menembus sekat-sekat kegalauan. Menghancurkan dinding-dinding kepu-tusasaan. Bunga-bunga itu bergantian meneriakkan kata-kata yang membangkitkan Cinta dari keterpurukan dan kefrustrasian diri. Kata-kata yang mampu mengurai kekusutan otak dan kekalutan jiwanya.

“Cinta, coba pikir baik-baik. Apakah tetesan airmata dan ratapan kesedihan, mampu mengembalikan semua hal yang telah terenggut darimu?”

“Cinta…hapuslah air matamu dengan berbaik sangka kepada Allah. Usirlah kesedihanmu dengan mengingat-ingat karunia yang telah kamu terima. Bangkit dan kembalilah kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah sebaik-baik penolongmu.”

“Cinta, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Bukankah di balik tangisan, senantiasa ada senyuman? Sebagaimana di belakang malam ada siang.”

Taman hati Cinta tegak berdiri. Menopang tubuh Cinta, yang mencoba bangkit. Satu-persatu jendela di taman hatinya, tertutup. Seakan hendak mengubur masa lalu Cinta. Membuangnya jauh-jauh dari kehidupan Cinta. Tatapan matanya menjurus ke depan. Menatap hari esok, yang hendak menjelang. Menyongsong kebahagiaan hakiki, yang akan datang.

“Cinta, saat malam hadir sempurna. Hitam pekat dan gelap gulita. Maka akan datang sesudahnya, pagi yang cerah dengan sinar terangnya.”

“Pikirkanlah hidup ini sebagai suatu hadiah dari Allah untukmu. Jadi, terimalah hadiah itu dengan sukacita.”

Cinta mendekatkan kedua tangannya pada oase taman hati. Meneguk air bening oase itu, seraya bersyukur dan memuji tuhannya. Sejenak, Ia hirup udara sejuk yang menyelimuti taman hati. Ia menatap bunga-bunga di sekelilingnya. Ia hisap aroma wangi bunga itu, sembari bertasbih kepada Allah. Mendung langit taman hati perlahan pergi.

“Cinta…Musibah itu memang terasa pahit. Namun, justru dialah yang mem-beritahumu bagaimana manis dan nikmatnya suatu anugerah. Bergembiralah dan optimislah. Sebab, Allah akan selalu mengabulkan segala do’a dan akan melenyapkan semua penderitaanmu.”

Cinta tersungkur. Bunga-bunga di taman hati merunduk. Cinta bersujud, dengan tangis yang merindukan maut.

“Ya, Allah... Hamba mohon ampunan-Mu. Hamba bertaubat kepada-Mu. Hamba terlalu banyak menuntut kepada-Mu. Tidak ada yang hamba berikan untuk-Mu, kecuali tumpukan dosa-dosa hamba. Ya, Rabbi…Hamba mohon keluasan rahmat-Mu.”

Ada satu bulatan tekad di taman hati Cinta. Bulatan itu semakin mengeras. Mengikrarkan sebuah keinginan untuk kembali ke dekapan Tangan Ilahi. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Ia mencoba meraih cahaya Ilahi, yang mulai menerangi setiap sudut di taman hatinya. Gulita malam yang sebelumnya menyelimuti langit taman hati, berubah terang benderang. Putik-putik bunga mulai tumbuh, melahirkan kelopak dan mahkota yang teramat indah. Cinta berdiri di atas taman hatinya. Bersiap menyongsong kebahagian dan kenikmatan abadi. Tak ada lagi percikan kepedihan jiwa. Timbunan kesedihan terkikis. Bayang-bayang penderitaan menjauh dari taman hati.

Tangisan benar-benar telah berubah menjadi senyuman. Keputusasaan menjelma menjadi keoptimisan akan hari esok. Kini, taman hati Cinta penuh dengan bunga-bunga sukacita. Saat-saat yang dinantikannya pun tiba. Saat dirinya berjumpa dengan Allah, yang telah menerangi jiwanya dengan cahaya suci. Saat itulah Ia bisa menatap wajah Allah. Satu kebahagiaan tersendiri, yang tak akan bisa ditukar dengan apapun. Tubuhnya terangkat. Bau wangi menyebar. Peristirahatan taman hati berbayang kabut pekat.

Terukir nama Cinta Maharani di atas seonggok batu nisan.

Pada jengkal taman hati…

*Cerpen ini terinspirasi dari buku “Rahasia Wanita Paling Bahagia di Dunia” karya Dr. Aidh AL-Qarni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun