Kematian adalah sebuah harapan akan masa depan. Kematian bukanlah akhir perjuangan. Kematian hanyalah bentuk penyerahan, adalah bukti kepasrahan dan kekalahan. Pada akhirnya kematian adalah kehidupan.
Malam semakin suntuk. Langit terlalu pekat untuk diarungi gugus bintang. Sementara waktu terus menindih. Menutup kisah kasih makhluk bumi. Melelapkan hari dalam dekap mimpi. Dan jarak semakin jauh membentang. Memisahkan ruh dari raga, untuk kemudian dihujamkan pada jurang imaji. Segalanya terjadi hingga matahari melukis pagi.
“Siapakah dirimu?”
“Aku adalah kematianmu.”
“Kematianku?”
“Ya…kematianmu!”
“Tapi, pernahkah aku mengenalmu?”
“Tentu saja kau mengenalku.”
“Tidak mungkin…tidak mungkin aku mengenalmu, mengenal kematianku sendiri.”
“Terserah!”
“Terserah?...”
“Aku adalah kematianmu!”
“Tapi mustahil aku bisa melihat kematianku sendiri.”
“Kau tidak perlu melihatku. Kau hanya perlu merasakannya, dan aku akan menyatu dengan jasadmu.”
Kehidupan itu,
Begitu cepat memeluk jasadku
Menyela jemariku
Dan menuntunku pada jalan berbatu
Kehidupan itu,
Ku tempuh dengan bibir kelu
Jasadku kaku
Saat wajahku beradu dengan-Nya
Kehidupan itu,
Dapatkah ku hindari?
Mungkinkah jalan itu ku tapaki?
Kehidupan itu,
Adalah kematianku…
Pagi sudah membulat. Ketika kicau burung memasung sunyi. Pohon-pohon menjulang, menyapa langit. Ku lempar pena yang sedari tadi menari di genggam jemariku. Ku biarkan saja kertas-kertas itu berserakan, memenuhi seisi ruang lelapku. Jendela di sudut ruangan telah terbuka. Entah sejak kapan jendela itu terbuka. Apakah sejak aku menuliskan bait perjumpaanku dengan kematianku? Ataukah mungkin jendela itu telah terbuka ketika aku masih menyatu dengan lelapku… ketika aku sedang bertempur dengan mimpi kematianku…?
Kematian…
Aku jadi teringat dengan mimpi itu semalam. Mimpi yang mempertemukan aku dengan kematianku sendiri. Aku benar-benar mampu melihatnya. Aku pun dapat berbicara dengannya, bahkan sempat berdebat pula dengannya. Tapi satu hal yang tidak mampu aku lakukan…aku tidak bisa merasakan kehadirannya. Seketika muncul pertanyaan dalam benakku, siapa yang sesungguhnya memulai perjumpaan itu? Apakah aku yang menghampiri kematianku…atau justru kematian itu yang mendatangiku?
Segera, ku susun kembali kertas-kertas yang berserakan. Ku biarkan lagi pena itu menari di genggam jemari. Marangkai kata…mengikat makna...
Aku ingin tahu
Siapa yang memulai perjumpaan itu
Wahai kematianku…
Sungguh, aku ingin tahu ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H