Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Honorer dalam Lilitan Ketidakadilan

14 Juli 2023   21:08 Diperbarui: 24 Juli 2023   07:21 2459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Guru honorer merupakan salah satu bagian integral dari sistem pendidikan Indonesia. Mereka berperan dalam  menciptakan kualitas pendidikan bagi generasi muda, namun demikian mereka sering terjebak dalam lilitan ketidakadilan yang sulit mendapat solusi.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), yang kemudian diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, honorer didefinisikan sebagai seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN atau APBD.

Guru honorer adalah guru yang bekerja secara kontrak atau tidak memiliki status pegawai negeri. Mereka umumnya berjuang dengan gaji yang rendah, ketidakpastian pekerjaan, dan keterbatasan akses terhadap manfaat dan perlindungan sosial. Meskipun mereka memiliki keahlian dan dedikasi yang sama dengan guru tetap, namun kesejahteraan hidup guru honorer masih kurang diperhatikan. Gaji honorer yang diterima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, guru honorer seringkali tidak memiliki kepastian pekerjaan. Mereka berstatus sebagai pekerja (pengajar) kontrak dengan batas waktu yang tidak pasti, sehingga sulit untuk merencanakan masa depan dan menciptakan stabilitas kehidupan mereka. 

Di samping ketidakpastian pekerjaan dan gaji yang rendah, guru honorer juga menghadapi keterbatasan akses terhadap manfaat dan perlindungan sosial. Guru honorer tidak memiliki hak yang sama dengan guru tetap, seperti jaminan pensiun, tunjangan kesehatan, dan jaminan kecelakaan kerja. Realitas guru honorer dalam lingkaran ketidakadilan ini bisa menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Ketidakpastian pekerjaan dan kurangnya jaminan kesejahteraan hidup bagi guru honorer dapat mempengaruhi motivasi kerja dan kinerja guru, sehingga berdampak pula pada prestasi belajar siswa.

Sekalipun guru honorer tetap mendapatkan hak honorarium bulanan, cuti sebagaimana tertera dalam Undang-undang ketenagakerjaan, dan perlindungan hukum, namun gaji pokok yang diperoleh oleh guru honorer tidak sebanding dengan gaji guru PNS. Hal ini menimbulkan ketimpangan atau ketidakadilan sosial.

Menghadapi masalah tersebut, Manteri Pendidikan Mas Nadiem Makarim menyebutkan bahwa selama enam bulan ini pemerintah telah melakukan diskusi untuk mencari jalan solusi tentang masalah guru honorer. Diskusi tersebut akhirnya menghasilkan tiga pilar yang rencananya akan diimplementasikan secara tetap pada 2024 dan menghapus sistem guru honorer per November 2023. 

Tiga pilar tersebut dirancang sebagai jalan keluar sistem rekrutmen guru yang meliputi konsep Marketplace Guru, yakni pertama: kumpulan database guru-guru yang kredibel untuk mengajar, kedua: direct recruitment oleh sekolah untuk mengganti sistem rekrutmen yang terpusat oleh pemerintah, dan ketiga: pemerataan tenaga didik agar sekolah-sekolah dengan formasi yang tidak banyak peminatnya dapat terisi (Kompas, 2023).

Hal yang harus diperhatikan bahwa tujuan utama Marketplace Guru tersebut, yakni meratanya tenaga didik ke seluruh sekolah dan mengisi kekosongan pengajar, tidak akan tercapai jika jika masih terdapat praktek nepotisme yang dilakukan oleh kepala sekolah dan yayasan pendidikan yang berwenang langsung dalam pengangkatan guru. Tindakan tersebut akan menghalangi kelancaran proses Marketplace Guru seperti guru yang telah lulus passing grade PPPK, namu tidak segera ditempatkan atau ditugaskan.

Selain itu, pelaksanaan Marketplace Guru juga dikhawatirkan justru akan menambah tingkat pengangguran sebab masih terdapat hal yang harus diperhatikan mengenai kesiapan SDM dalam menghadapi sistem rekrutmen yang baru. Menurut data Kemendikbudristek, hanya terdapat 40% guru di Indonesia yang siap dengan penggunaan teknologi. Padahal proses perekrutan menggunakan Marketplace Guru memerlukan keterampilan digital yang baik karena seluruh proses rekrutmen dilakukan secara digital.

Di samping itu, syarat untuk masuk ke dalam Marketplace Guru adalah peserta lulus passing grade dan bergelar Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan (Makarim, 2023). Persyaratan ini dinilai kurang adil bagi guru honorer yang tidak termasuk ke dalam dua kriteria yang dituntut. Ditemukan pula masalah keadilan dalam seleksi PPPK, yakni guru honorer yang berusia lebih dari 40 tahun harus bersaing dengan guru berusia muda dengan hanya 15% afirmasi bagi guru yang berusia lebih dari 35 tahun dan bekerja minimal 3 tahun (Kemendikbudristek, 2021).

Pada tahun 2021 pemerintah mengelarkan kebijakan PPPK yang dicanangkan untuk dapat mengatasi ketidakadilan serta menimalisir permasalahan guru honorer di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, seleksi PPPK juga dinilai masih bertele-tele dan tidak sesuai dengan kesepakatan awal akan mengangkat satu juta guru honorer menjadi PPPK.

Berhadapan dengan situasi ini, pemerintah perlu memastikan bahwa PPPK ini dapat memberikan keadilan kepada guru honorer, memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara profesional, dan memberikan penghargaan yang pantas atas kontribusi mereka dalam dunia pendidikan. 

Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, diharapkan realitas guru honorer dapat berubah menjadi lebih adil, dihargai, dan memotivasi mereka untuk terus berdedikasi dalam mendidik generasi muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun