Pendidikan di sekolah memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter siswa. Pendidikan yang diberikan kepada siswa harus memiliki harmonisasi antara aspek akademik dan karakter.Â
Menyadari pentingnya hal ini maka pada tahun 2017, Presiden megeluarkan peraturan tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).Â
Aturan yang tertera dalam Perpres No 87, Tahun 2017, Bab 1 ayat 1 tersebut menekankan tentang pentignya harmonisasi antara olah hati, olah rasa, olah pikir dan oleh raga dalam pendidikan.
Sekalipun peraturan ini telah berlaku beberapa tahun ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu aspek penting dalan PPK, yakni "olah rasa", dalam prakteknya masih sering diabaikan.
Olah Rasa dan Fugsinya
Secara sederhana olah rasa dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mengelola emosi yang akan muncul dan memerlukan tingkat konsentrasi yang tinggi.Â
Degan kata lain, olah rasa merupakan teknik dalam mengontrol emosi, perasaan dan hati supaya dapat merasa tenag dalam kondisi yang sulit atau terancam dan dalam keadaan buruk apapun.
Olah rasa memiliki fungsi untuk membangun kejujuran rohani dan pembebasan rohani dari berbagai hal yang mengikat atau membatasi seseorang. Pembebasan tersebut diharapkan membantu sikap dan perasaan untuk melahirkan ide-ide serta kreativitas dalam kegiatan apapun.Â
Olah rasa juga dilakukan supaya pikiran kita dapat lebih terfokus. Olah rasa dapat membuat seseorang tetap tenang dalam menghadapi situasi apapun, dan dengan demikian secara bijak mampu menghadapi setiap persoalan hidup apapun, termasuk yang menjengkelkan, atau memancing amarah.
Wilayah PerasaanÂ
Wilayah perasaan mencakup beberapa istilah. Ada yang dikenal dengan perasaan, ada yang disebut emosi, dan ada pula yang dinamakan temperamen.
Seorang psikolog, Andre Rochais mendefinisikan perasaan sebagai kondisi batin manusia yang naik-turun dengan cepat, datang dan pergi, serta mudah berubah, seperti: senang, cemas, terkejut.Â
Sedangkan emosi adalah keadaan perasaan yang berlangsung relatif lama, misalnya: takut, bahagia, damai, sedih berlarut-larut.Â
Emosi berlangsung lebih lama daripada perasaan. Temperamen adalah disposisi dasar perasaan individu, misalnya pemurung, pemalu, penakut, peragu, atau optimis.
Semua itu diperoleh sebagai warisan dari relasi antara anak dengan ibu saat dikandungan, maupun saat anak berelasi dengan lingkungannya pada masa kanak-kanak. Pewarisan itu disebut proses intrapsikis (Lacomere, Pierre. 1997:100-102).
Kantong perasaan ialah endapan pengalaman pahit, seperti aneka kekecewaan, kemarahan, penolakan dari figur-figur pendidik masa lalu, yang tidak terolah.Â
Istilah itu digunakan untuk menandai adanya kumpulan perasaan bawah sadar, yang tersimpan dalam diri seseorang. Disebut kekuatan bawah sadar, karena kekuatan itu bisa mempengaruhi keputusan orang di masa sekarang.
Misalnya, jika orang marah dan benci terhadap ayahnya yang keras, tetapi tidak berani memprotes tindakan itu, maka perasaan benci dan marah itu tersimpan dalam kantong perasaan.Â
Lalu tanpa sadar kemarahan dan kebencian itu bisa dialihkan pada figur kuat masa kini, seperti guru, pembesar, pengasuh, pegawai atau teman yang memiliki gaya seperti "ayah".
Kebiasaan mendiamkan, tidak mengomunikasikan masalah pada pihak lain, adalah tindakan yang sering dipengaruhi oleh kantong perasaan dan penyetiran bawah sadar. Keadaan seperti itu bisa dipicu oleh situasi semasa kanak-kanak, di mana kehangatan dan perhatian kurang didapat dan hilangnya budaya diskusi dalam keluarga.
Akibatnya, saat orang beranjak besar dan meninggalkan keluarga, kalau ada masalah cenderung menyimpannya sendiri. Inilah yang disebut pengulangan.Â
Tipe-tipe pengulangan seperti ini perlu mendapat perhatian, agar orang lebih mengenal isi bawah sadarnya. Semakin seseorang tersetir oleh bawah sadarnya, mereka disebut tidak dewasa, karena cara pandangnya subjektif dan perilakunya inkonsisten.
Pengaruh Lingkungan SosialÂ
Selain dipengaruhi oleh proses intrapsikis, lingkungan sosial juga sangat menentukan "rasa" seseorang.Â
Lingkungan sosial adalah sekelompok manusia, media, peristiwa yang menjadi habitat seseorang dan mampu memengaruhinya. Lingkungan sosial berpotensi memolai kepribadian seseorang, yang terungkap dalam sikap, bahasa, dan pola pikirnya.
Setiap wilayah sosial memiliki potensi untuk mendukung maupun merugikan kepribadian seseorang. Gaya hidup konsumtif, pengaruh iklan, film-film perang atau horor, bisa merusak gambaran orang akan realitas.
Seorang yang dibesarkan di lingkungan perkampungan yang ramai dan multikultural, bisa bertumbuh menjadi pribadi yang memprioritaskan semangat egaliter, kebersamaan dan terbiasa bergaul dengan aneka suku dan agama.Â
Hal ini berbeda dengan orang yang terisolasi di wilayah tertentu, seperti perumahan elit. Mereka bisa gagap dalam menghadapi keanekaan dan sulit bersosialisasi dengan sesamanya.
Dominasi Olah Pikir dalam Pendidikan
Akal budi berperan sebagai pencerna, pengendali dan pembagi informasi ke seluruh tubuh, agar bereaksi "tepat". Akal budi akan menyambung logika, memperkaya pemahaman, menjelaskan sebab akibat, memecahkan masalah, dan sebagainya.Â
Lewat aktivitas belajar, kemampuan akal budi berkembang, pengetahuan diperkaya, hal-hal baru ditemukan. Akal budi memiliki aneka fungsi, yakni:
- Intelek: berfungsi untuk menjaga kesadaran, menganalisa, memahami, berefleksi, berkonsep, memberi alasan, dan berimajinasi.
- Kebebasan: berfungsi untuk mempertimbangkan dan memilih, berhati-hati dan memutuskan.
- Kehendak: berfungsi untuk mengelola kemauan dan mengarahkan energi.
Kontrol atas perilaku dan hidup manusia dijalankan melalui tiga kemampuan ini. Karena peran akal budi sedemikian besar, sehingga seperti menjadi penentu segalanya. Atas peran itu maka otak sering disebut "aku" (kecil).
Sebagian orang hidup dan mendewakan akal budinya, sehingga menganggap akal budi adalah jati dirinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini pun masih dapat kita temukan dalam dunia pedidikan kita saat ini.Â
Bukankah kebanyakan orang tua akan sangat bangga jika anaknya medapat rangking pertama di kelasnya atau mejuarai Olimpiade Matematika tingkat nasional?Â
Padahal anaknya mungkin secara sosial tidak bisa bergaul dengan teman lain, malas mengatur diri atau mungkin emosinya bisa meledak-ledak jika ada hal yang tidak diinginkannya.Â
Bukankah suatu sekolah akan menjadi sekolah favorit jika banyak peserta didik mendapat prestasi akademik? Padahal mungkin saja sekolah tersebut kurang memperhatikan pendidikan karakter siswa.
Menurut Andre Rochais, jati diri manusia ada di kedalaman batinnya dan bukan di akal budi (Lacomere, Pierre, 1997:74).Â
Oleh karena itu, olah rasa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pendidikan kita. Terlalu mengidolakan aspek akademik (olah pikir), dan mengabaikan olah rasa, merupakan suatu ketidakseimbangan dalam pendidikan.
Sekolah perlu memperhatikan hal ini dengan cara membuat kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan olah rasa. Salah satu contoh adalah dengan kegiatan ektrakurikurikuler seni. Olah rasa kadang digunakan dalam berbagai ilmu seni seperti teater, tari maupun musik.
Olah rasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan stimulus berupa lagu atau instrumen tertentu. Hal ini mungkin belum banyak dipraktekan di sekolah-sekolah.Â
Dari awal masuk gerbang sekolah, sampai pada akhir pelajaran dan kembali ke rumah, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, selalu ada yang berbicara dan ada yang mendengarkan pembicaraan.Â
Tidak ada waktu sejenak pun siswa diberi kesempatan untuk hening, berefleksi, mengalami pengendapan atas pelajaran yang telah diterima.Â
Para psikolog berpendapat bahwa meluangkan waktu hening, dan bila mungkin diiringi intrumen, dapat melatih olah rasa seseorang, juga dapat meningkatkan kepekaan diri, konsentrasi, penguasaan gestur dan imajinasi.
Referensi: Kusbiantoro, Paulus Teguh. 2023. Psikologi Pegenalan Diri. Malang: Karmelindo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H