Pada Hari Kamis Putih, 17 April 2003, di Vatikan-Roma Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan sebuah Surat Ensiklik  yang berjudul "Ecclesia de Eucharistia", Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja, yang ditujukan kepada kepada para Uskup, Imam, Diakon, para biarawan-biarawati dan seluruh umat beriman Katolik. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah terbitnya Misale Romawi yang baru.
Dalam surat Ensiklik ini ini, Paus Yohanes Paulus II antara lain menegaskan lagi hakikat misteri Gereja: Gereja hidup dari Ekaristi. Kurban Ekaristi adalah "sumber dan puncak setiap hidup Kristiani" (KL. 11). Dalam Ekaristi Kudus terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, Roti Paskah kita yang hidup.
Permenungan kita pada kesempatan hari Kamis Putih ini, mencoba mendalami kembali makna Ekaristi untuk hidup kita. Dengan suratnya "Ecclesia de Eucharistia", Paus Yohanes Paulus II ingin melibatkan seluruh umat secara lebih penuh dalam merenungkan Ekaristi dan hubungannya dengan Gereja. Sri Paus "ingin menyalakan kembali pesona Ekaristi" dengan menghidupkan kembali benang merah ajaran mengenai misteri Ekaristi mulai dari perjamuan malam terakhir (sebagai cikal bakal) sampai dengan ketetapan konsili-konsili dan para Paus.
Gereja hidup dari EkaristiÂ
Kebenaran iman ini menegaskan tentang hakikat misteri Gereja. Melalui ekaristi Gereja ingin mengeskan kembali sabda Yesus yang menyatakan bahwa Ia akan senantiasa hadir dan menyertai Gereja-Nya hingga akhir zaman. Dalam Ekaristi Kudus, secara khusus dalam peristiwa konsekrasi roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, Gereja dengan penuh bersuka cita merayakan kehadiran Yesus.
Dalam perayaan Ekaristi Kudus, terkandunglah seluruh kekayaan rohani Gereja, di mana Kristus sendiri, hadir sebagai roti hidup. Melalui tubuh dan darah-Nya, Ia menawarkan hidup-Nya kepada manusia. Karena itu Gereja selalu mengarahkan pandangannya kepada Tuhannya, yang hadir dalam Sakramen Altar.
Gereja lahir dari misteri Paskah
Ekaristi ditempatkan pada jantung hidup Gereja. Kebenaran ini sudah terungkap pada cara hidup awal Gereja seperti yang tertulis dalam Kitab Suci. Jemaat perdana selalu tekun mendengarkan ajaran para rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul bersama untuk berdoa dan memcahkan roti (Kis 2:42). Selanjutnya selama 2000 tahun dan bahkan sampai saat ini dan dalam keabadian para imam senantiasa menghidupi citra Gereja purba.
Pada setiap perayaan Ekaristi, kita dibawa kembali kepada Tri Hari Paska: kepada peristiwa malam kamis putih, kepada Perjamuan Terakhir dan kepada apa yang menyusulnya, mulai dari Getsemani sampai ke Golgota. Pada kala itu adalah "Saat Penebusan". Kendati berkesah amat sangat, Yesus tidak lari dari "saat-Nya". Ia menghendaki agar para murid-Nya menyertai-Nya berjaga.
Dalam kesunyian malam Getsemani, Yesus merasa sendirian; Ia secara rohani ditinggal diam sendirian oleh para Rasul-Nya. Dalam situasi batas, ia berjuang sendiri, walaupun sejauh sepelempar batu ada para murid-Nya yang tertidur. Dalam situasi gelisah sendirian, Ia masih berusaha bangun lalu pergi membangunkan ketiga muridNya: Petrus, Yohanes dan Yakobus yang sedang tidur nyenyak sambil mengajak mereka untuk berdoa bersama-Nya.
Ekaristi sebagai "Mysterium fidei"
Ekaristi disebut misteri iman karena Ekaristi menghadirkan kembali misteri paskah bagi kita yakni kematian dan kebangkitan Kristus; Ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Gereja sebab ia lahir dari misteri Paskah. Setiap kali imam merayakan Ekaristi, kata-kata ini selalu diucapkan dan semua umat menyambutnya dengan berkata: "Wafat Kristus kita maklumkan; Kebangkitan-Nya kita muliakan; kedatangan-Nya kembali kita rindukan". Dasar dan sumber mata-air ekaristi adalah seluruh Tri Hari Paskah. Semuanya itu seakan diramu, dipancarkan dan dipadatkan buat selamanya dalam karunia Ekaristi.
Gereja telah menyambut Ekaristi dari Tuhannya, Kristus sebagai pemberian yang maha luar biasa, sebuah pemberian unggulan dari sekian banyak pemberian, sebab merupakan penyerahan diri, pribadi-Nya sendiri dari kemanusiaan-Nya yang suci, di samping sebagai hadiah karya penyelamatan-Nya yang mengatasi segala waktu.
Waktu Gereja merayakan Ekaristi, peristiwa sentral penyelamatan ini menjadi sungguh-sungguh hadir dan "terwujudlah karya penyelamatan kita". Demikianlah setiap dari umat dapat ambil bagian di dalamnya, dan beroleh buahnya yang tak kunjung kering. Inilah iman yang dihayati oleh seluruh umat sepanjang abad.
Ekaristi mengungkapkan makna sifat apostoliknyaÂ
Ekaristi menciptakan persekutuan dan mengembangkan persekutuan. Santo Paulus dalam suratnya kepada umat di Korintus menandaskan pentingnya persekutuan sebagai hakikat utama Ekaristi. Hidup dalam perpecahan berarti hitup yang tidak sesuai dengan apa yang mereka rayakan yakni Perjamuan Tuhan. Maka rasul Paulus mendorong mereka untuk kembali hidup dalam persekutuan persaudaraan sebagai buah dari Ekaristi (bdk. 1 Kor 11:17-34).
Santo Agustinus menggemakan lagi seruan ini, sambil mengutip kata-kata rasul: "Kamu adalah tubuh Kristus, dan masing-masing adalah anggotanya" (1 Kor 12:27), lanjutnya: "Bila kamu adalah tubuh dan anggota-Nya, maka tatkala kamu duduk di sekeliling meja, kamu akan sadar akan misterimu sendiri. Sungguh, kamu menyambut misterimu sendiri." Lebih lanjut, Santo Agustinus menegaskan bahwa dalam perjamuan-Nya Kristus telah membaktikan misteri damai dan kesatuan. Oleh karena itu siapa yang menyambut misteri kesatuan, tetapi tidak memelihara ikatan damai, maka ia bukan menyambut misteri sejahteranya, melainkan sebagai bentuk mendakwa dirinya sendiri.
Bertolak dari hal ini, kita disadarkan bahwa Ekaristi yang kita rayakan merupakan puncak dari iman kita. Namun ekaristi tidak hanya berhenti di altar perjamuan. Ekaristi tidak hanya berhenti di Gereja. Ekaristi harus berbuah dalam kehidupan. Iman harus berbuah dalam kasih, persekutuan, persaudaraan, perdamaian dengan semua orang maupun seluruh alam ciptaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H