Pemilihan umum akan kembali diselenggarakan pada tahuan 2024. Idealnya, pesta demokrasi tersebut tidak hanya diikuti oleh jumlah pemilih yang banyak (secara kuantitas), melainkan juga kualitas partisipasi peserta pemilu. Agar harapan tersebut bisa terwujud, maka diperlukan pengkondisian para pemilih (voters), agar bisa menjadi voters yang melek, cerdas dan kritis secara politik.
Pemilih yang cerdas adalah pemilih yang bebas dari bentuk intimidasi, berani melawan politik transaksional seperti money politics dan sungguh memahami suara yang diberikan dan bagaimana konsekuensi politik di kemudian hari bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Untuk itu, sangat diperlukan adanya pendidikan pemilih (voter education), baik berupa sosialisasi atau dalam bentuk lainnya. Hal ini terutama sangat dibutuhkan bagi peserta pemilih pemula (first-time voters).
Pemilih pemula merupakan warga negara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sudah memenuhi syarat untuk pertama kalinya menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum.Â
Ada banyak golongan pemilih pemula, namun dalam kajian ini penulis hanya membatasi pada pemilih pemula di kalangan para pelajar SMA atau sederajat.
Ada beberapa karakter yang ditemukan dalam diri pemilih pemula, antara lain:Â
1) Belum pernah memiliki pengalaman berada di dalam TPS dan belum mengetahui cara mencoblos, dll ; 2) Belum memiliki pengalaman dalam menentukan pilihan politik; 3) Biasanya memiliki antusias yang tinggi atau malah sebaliknya; 4) Kadang kurang rasional atau yang penting memilih; 4) Belum terlalu memahami apa pentingnya memberikan hak suara dalam pemilu.
Perlu disadari pula bahwa di era digital yang berkembang saat ini, tingkat pastisipasi politik sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk informasi yang diperoleh dari media sosial.Â
Pemilih pemula merupakan pengguna media sosial yang sangat aktif. Mereka bisa saja dipengaruhi oleh informasi politik yang diterima dari media sosial, baik itu dalam arti positif maupun justru berpengaruh negatif ketika mereka terpapar informasi yang salah.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kecerdasan pemilih pemula telah dilakukan oleh berbagai pihak, khususnya KPU dan Bawaslu. Namun perlu disadari bahwa upaya untuk menumbuhkan literasi politik (political literacy)Â bagi pemilih pemula tidak hanya merupakan usaha tunggal dari pihak tertentu dan dengan cara tertentu pula.
Literasi politik bagi pemilih pemula tidak cukup jika hanya dengan melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan teknis elektoral seperti waktu kapan akan dilaksanakan pemilu, di mana, dan bagaimana cara memberikan hak suara di TPS. Literasi politik seharusnya juga mencakup aspek-aspek substantif elektoral, yang sangat penting untuk dimiliki pemilih pula.Â