Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Bertanya, Mas Menteri Menjawab

8 Desember 2022   19:21 Diperbarui: 8 Desember 2022   19:51 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua: Alangkah susahnya kalau kurikulum itu diganti lagi. Kurikulum merdeka akan menjadi kurikulum yang relevan untuk jauh ke depan karena merupakan kurikulum yang paling fleksibel dari kurikulum yang pernah ada. Benar-benar guru diundang untuk menjadi co-creator dari kurikulum tersebut.  

Kalau anak-anak sudah senang dengan projek Based Learning, siapa yang berani mengambil balik hak itu dari anak-anak kita? Selain itu jika dengan kurikulum merdeka guru-guru 3T bisa mengejar ketertinggalan, siapa yang akan mengambil hak itu kembali? Akan sangat sulit.  Siapa yang berani menari 1,6 juta guru sudah menggunakan platform merdeka mengajar?

Jangan khawatir apakah program-program ini lanjut atau tidak karena ujung-ujungnya yang menentukan itu sebenarnya bukan ada di pemerintahan. Keputusan itu ada di masing-masing hati bapak dan ibu guru, orangtua, murid, mahasiswa dan dosen yang sudah menjadi bagian dari gerakan ini. 

Kalau gerakan ini terus maju, pemerintah tidak akan pernah mempunyai opsi tetapi untuk mendukung. Jadi kekuasaan itu ada di bapak-ibu. Jangan pernah lupakan itu. Kalau bapak-ibu menginkan ini lanjut, pasti pemerintah akan mendengarkan.

Ketiga: Kemandirian ABK

Ibu Alexia Netty (Tenggarong-Kaltim): 

Sangat senang menggunakan Kurikulum Merdeka karena sesuai dengan kondisi Anak Berkebutuhan Khusus, yang pengajarannya secara individu. Apa saran dari mas manteri agar anak-anak tersebut bisa mandiri secara ekonomi?

Mas Menteri: 

Ada berbagai macam cara untuk bisa memastikan sekolah-sekolah kita lebih inklusif. Mau menambah berapa pun SLB tidak akan pernah cukup untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia. 

Kemungkinan besar, mayoritas dari anak-anak yang punya kebutuhan khusus belum terdiagnosa punya kebutuhan khusus. Hanya yang terlihat jelas secara fisik, tetapi anak-anak dalam spektrum autisme, tersebar di seluruh sekolah biasa dan banyak guru pun tidak mengetahui karena belum terdiagnosa.

Cara yang bisa membuat mereka mandiri adalah, pertama: kurikulum itu sendiri. Bagaimana caranya kita bisa menemukan apa passion yang ada di hati anak, apa yang menjadi fokus utamanya. Indikatornya, kalau ia mempelajari itu tiba-tiba berjam-jam lewat karena ia mau menjalani itu. Setiap anak punya satu hal yang mereka akan tekuni tanpa disuruh. Minat dan bakat original dari anak itulah yang harus diasah.

Jika dalam kurikulum merdeka, guru-guru bisa melakukan suatu strategi yang terdiferensiasi, di mana setiap anak itu khusus dan spesial, skil atau kompetensi anak tersebut akan menjadi hebat. Anak-anak yang dilihat punya kekurangan, biasanya memiliki kelebihan. 

Mari kita melihat suatu kelemahan menjadi suatau kekuatan. Kalau guru punya mindset seperti itu, ABK akan sukses dan berdiri sendiri secara ekonomi bahkan akan lebih suskses dari anak-anak yang di sekolah normal.

Kedua: Salah satu cara untuk mengidentifikasi setiap anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah transformasi sistem PPG. Semua guru harus memiliki kemampuan untuk bisa mengidentifikasi suatu kebutuhan khusus dan juga bisa menganganinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun