Partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan menunjuk kepada pengertian tentang keikutsertaan masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program dan kegiatan.Â
Menurut World Bank (2005) partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan merupakan proses pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi manajemen, mulai dari proses penyusunan rencana prioritas, pembuatan kebijakan, penyusunan alokasi sumber daya, sampai dengan proses pengawasan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan pengembangan pendidikan.
Secara entitas, masyarakat sangat kompleks dan tak terbatas sehingga sangat sulit bagi lembaga pendidikan (sekolah) untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Maka dalam hal ini masyarakat perlu memiliki lembaga representatif yang disebut Komite Sekolah. Â
Dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 nomor 16 ditegaskan, "Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat". Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan sangatlah penting.
Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Â
Undang-undang ini memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah kabupaten/kota, tingkat satuan pendidikan, beserta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan dasar yang mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap satuan pendidikan (Sonhadji, 2013). Selanjutnya Imron (2013) menyatakan, "salah satu esensi regulasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah bidang pendidikan adalah pemberian wewenang, peluang dan keleluasan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah dan masyarakat".
Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan, tidak saja sekedar dipandang sebagai loyalitas rakyat atas pemerintahannya, melainkan yang juga tak kalah penting adalah kebijaksanaan tersebut hendaknya dianggap oleh masyarakat sebagai miliknya.Â
Secara ideal, partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan harus dimulai dari proses perumusan kebijakan dan rencana sampai dengan pelaksanaan pengawasan dari masyarakat, sehingga anggota masyarakat tidak hanya menjadi obyek dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, tetapi lebih sebagai subyeknya, sebagai agen atau pelaku utama.
Sufa (2012) berpendapat bahwa ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, antara lain: (1) sebagai proses 'pendidikan' bagi masyarakat untuk memperoleh kesempatan mengkomunikasikan aspirasinya kepada pemerintah, dan juga memperoleh kesempatan belajar dari pemerintah, (2) memberi peluang kepada masyarakat untuk meyakinkan (persuade and enlighten) pemerintah, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi.Â
Di samping memberikan keuntungan bagi masyarakat, adanya partisipasi masyarakat juga memberikan dampak positif bagi pemerintah, antara lain (1) sebagai proses pendidikan dan sekaligus memberikan kesempatan bagi pemerintah dalam mengkomunikasikan aspirasi atau kebijakan-kebijakannya kepada masyarakat, dan juga belajar atau menyerap aspirasi dari masyarakat, (2) memberikan peluang kepada pemerintah untuk meyakinkan, membangun rasa saling percaya, dan mengurangi kerisauan atau keresahan masyarakat, (3) membangun kerja sama dengan masyarakat, dan (4) sebagai wahana untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat atas keputusan yang ditetapkan pemerintah.
Walaupun partisipasi masyarakat dalam pembuat keputusan pendidikan memiliki banyak manfaat positif, namun Irvin (dalam Sufa, 2012) juga menemukan beberapa kelemahan yang mungkin timbul karena keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.Â
Kelemahan itu antara lain (1) memerlukan waktu yang lebih lama dan sering kali terkesan membuang-buang energi, (2) membutuhan biaya yang relatif lebih banyak, (3) kemungkinan terjadi lepas kendali dalam pengambilan keputusan yang kurang tepat atau kurang sesuai terutama yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politis.Â
Faktor Penghambat Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan Pendidikan
Fakta membuktikan bahwa dalam batas tertentu masyarakat masih relatif terbatas memberikan dukungannya dalam bidang bidang pendidikan. Misalnya, kita masih bisa menemukan minimnya partisipasi lembaga industri dan bisnis terhadap keberlangsungan praktek pendidikan nasional baik yang ada di daerahnya sendiri, maupun daerah lain.Â
Demikian pula kontrol masyarakat yang masih rendah terhadap berbagai hal yang mengontaminasi nilai-nilai budaya bangsa yang berkembang di masyarakat, seperti semakin meningkatnya penggunaan narkoba oleh kaum remaja.
Masyarakat pada dasarnya cenderung berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, tetapi di sisi lain partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan masih terbatas.Â
Hambatan yang dialami sekolah untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pendidikan membuktikan bahwa belum sepenuhnya disadari sebagai tanggung jawab bersama.Â
Realitas tersebut menguatkan asumsi bahwa partisipasi tidak mudah diwujudkan, karena ada hambatan yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat.
Hal lain yang menjadi faktor penyebabnya adalah lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik. Kemampuan lembaga legislatif dalam mengaktualisasikan kepentingan masyarakat, masih rendah.Â
Di samping itu, faktor penyebab lain adalah lemahnya dukungan anggaran. Kegiatan partisipasi publik sering kali hanya dilihat sebagai proyek, maka pemerintah tidak menjalankan danah secara berkelanjutan.
Selain itu, faktor yang menghambat lemahnya partisipasi masyarakat pada kebijakan pendidikan adalah karena masyarakat memiliki sikap apatis, sebab selama ini jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan oleh pemerintah daerah. Budaya paternalisme yang dianut oleh masyarakat menyulitkan masyarakat untuk berdiskusi secara terbuka.
Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Untuk dapat mengefektifkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, maka dapat dilakukan berbagai upaya, antara lain:Â
Pertama, memberikan kepercayaan dan investasi bagi masyarakat lokal dengan memperkuat institusi lokal, membangun di atas fundasi lokal, dan sharing informasi.Â
Kedua, melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa dengan keikutsertaan masyarakat dalam kebijaksanaan yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan masyarakat sendiri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.Â
Ketiga, menggunakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang mempunyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam kebijaksanaan, agar masyarakat kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam kebijaksanaan yang diimplementasikan. Keempat, mengaitkan keikutsertaan masyarakat dalam implementasi kebijaksanaan dengan kepentingan mereka.
Otonomi pendidikan secara sadar atau tidak mendorong semua pihak di daerah untuk lebih menunjukkan keterlibatannya dalam membangun pendidikan di daerahnya agar dapat mengantarkan anak bangsa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya mampu mengangkat derajatnya sendiri, melainkan juga mampu bersaing melalui kinerjanya sehingga dapat menghadapi tantangan global.
Selama ini sebagian kewenangan manajemen pendidikan nasional, terutama dalam pembuatan keputusan dipegang oleh birokrasi pusat, sehingga birokrasi daerah lebih banyak bersifat reaktif, pasif, kurang inisiatif, dan tidak berdaya.Â
Hendaknya partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan menduduki posisi yang strategis, karena masyarakat pada dasarnya merupakan stakeholders pendidikan yang paling utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI