Penilaian atau evaluasi hasil belajar merupakan komponen yang tidak terpisahkan dalam  penyelenggaran pendidikan. Penilaian hasil belajar merupakan proses pemberian nilai terhadap hasil hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa berdasarkan kriteria atau standar tertentu yang telah ditetapkan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi sudah ditetapkan beberapa kriteria tentang penilaian atau evaluasi belajar yang harus dilaksanakan di Perguruan Tinggi. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih banyak hal yang ditemukan belum maksimal dilaksanakan sesuai dengan standar umum yang sudah ditetapkan.Â
Berikut ini adalah beberapa catatan evaluasi terhadap pelaksanaan penilaian belajar di Perguruan Tinggi, berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang mahasiswa.
Waktu Penilaian Belajar
Idealnya kegiatan penilaian belajar tidak hanya dilaksanakan di akhir proses pembelajaran, melainkan secara kontinyu dan menyeluruh, baik itu dilaksanakan di awal, pertengahan maupun di akhir pembelajaran.Â
Baca juga: Mungkinkah Kampus "Merdeka" dari Scopus?Walaupun peraturan ini menyebut kata "idealnya", namun menurut saya alangkah baiknya proses penilain secara kontinyu dan menyeluruh ini merupakan suatu "keharusan" untuk dilaksanakan. Hal ini menjadi penting untuk mengevaluasi perkembangan studi mahasiswa dari.Â
Sangat disayangkan jika evaluasi hanya dilakukan pada akhir pembelajaran berupa Ujian Akhir Semester (UAS). Adapula beberapa perguruan tinggi atau beberapa dosen yang mengadakan Ujian Tengah Semester  (UTS), namun baik UTS maupun UAS memiliki bentuk penilaian yang kurang bersifat evaluatif terhadap hasil belajar. Bahkan pekerjaan mahasiswa kadang tidak dikembalikan dan mahasiswa tidak mengetahui catatan evaluasi yang harus diperhatikan.
Catatan evaluatif memungkinkan dosen membaca dengan teliti setiap hasil pekerjaan mahasiswa. Penilain yang hanya menggunakan skala ordinal A, B, C, D, E bisa saja membuka kesempatan bagi para dosen untuk "asal" memberi nilai, tanpa membaca dengan baik apa yang ditulis mahasiswa. Dengan alasan beragam kesibukan, apalagi jika memiliki banyak mahasiswa, seorang dosen bisa saja tergoda untuk "asal" memberi nilai.
Prinsip Penilaian
Prinsip penilaian terdiri dari prinsip edukatif, otentik, objektif, akuntabel, dan transparan. Prinsip edukatif artinya penilain yang diberikan tidak untuk menghakimi mahasiswa atas nilai yang didapatkan. Sebaliknya, penilain tersebut sebagai acuan refleksi serta evaluasi, sehingga mahasiswa dapat menerapkan perencanaan untuk meningkatkan kualitas belajarnya. Apabila sudah mendapatkan hasil yang baik, mahasiswa dapat terus melakukan peningkatan hasil belajarnya sambil meningkatkan indikator lain yang kurang baik.
Prinsip otentik adalah penilaian hasil belajar yang memiliki orientasi pada proses belajar yang berkesinambungan. Prinsip objektif adalah penilaian hasil belajar yang bebas dari pengaruh subjektivitas antara dosen dan mahasiswa. Prinsip akuntabel adalah penilaian hasil belajar yang dilaksanakan berdasarkan prosedur dan kriteria yang sudah disepakati sejak awal perkuliahan, dan sudah dipahami oleh mahasiswa. Prinsip transparan merupakan penilaian yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan.
Kualifikasi keberhasilan mahasiswa yang hanya dinilai berdasarkan skala ordinal A, B, C, D, E, terasa kurang memenuhi prinsip edukatif. Mahasiswa yang hanya mengetahui nilai ordinal akan sangat berbeda jika evaluasi dilakukan secara deskriptif berupa catatan dari dosen pengampuh mata kuliah.Â
Catatan-catatan evaluasi dari dosen akan berguna untuk memperbaiki apa yang masih perlu diperbaiki dalam pemahamannya terhadap mata kuliah tertentu jika dibandingkan dengan hanya mendapatkan nilai A, B, C, D atau E.
Bentuk penilaian secara deskriptif yang menggunakan prinsip transparan, akan sangat membantu memberikan informasi jika seorang mahasiswa melamar pekerjaan karena catatan penilain tersebut dapat diakses oleh pemanggku kepentingan.
Penilaian Capaian Pembelajaran
Pada prinsipnya, kegiatan pembelajaran diharapkan dapat mengubah pengetahuan, sikap, dan keterampilan mahasiswa ke arah yang lebih baik, secara kuantitas maupun kualitas. Ketiga hal ini sangat penting dan tidak boleh mengabaikan salah satu di antara capaian pembelajaran ini. Dalam kenyataannya, capaian pembelajaran yang mendapat perhatian untuk dinilai hanyalah ranah pengetahuan melalui tes lisan maupun tes tertulis.Â
Penilain ranah sikap dan ketrampilan kadang disatukan menjadi penilaian pada ranah pengetahuan. Penilain ini pun pada akhirnya hanya terkover di ijazah dalam bentuk huruf atau angka yang dibulatkan menjadi IPK. Seandainya semua pencapaian pembelajaran ini dibuat dalam bentuk deskriptif, akan sungguh memiliki nilai informatif jika seorang mahasiswa pada nantinya melamar suatu pekerjaan. Â Â
Dari ulasan singkat ini sebenarnya hanya ada satu harapan agar sistem evaluasi pembelajaran kita bisa diperbaharui, sehingga setiap mahasiwa tidak hanya menerima evaluasi berupa angka atau huruf, melainkan ada deskripsinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H