Ciri lain yang tampaknya relevan dengan efektivitas kepemimpinan adalah lokus orientasi kontrol, yang diukur dengan skala kepribadian yang dikembangkan oleh Rotter (1966). Percaya bahwa peristiwa di dalamnya kehidupan lebih ditentukan oleh tindakan mereka sendiri, mereka mengambil lebih banyak tanggung jawab untuk tindakan mereka sendiri dan untuk kinerja organisasi mereka.
Dalam hal ini Ratu Elizabeth II menekankan pentingnya refleksi untuk kembali ke dalam diri, lalu bergerak keluar. Elizabeth berkata:Â
"Kita semua harus memiliki keseimbangan antara aksi dan refleksi. Dengan cara merenung, berdoa, atau menulis refleksi harian, orang akan menemukan kedalaman spiritual yang akan bermanfaat dalam hidup mereka".
Stabilitas Emosional dan Kedewasaan
Seseorang yang matang secara emosional memiliki penyesuaian diri yang baik. Orang yang dewasa secara emosional memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi akan kekuatan dan kelemahannya, dan mereka berorientasi pada perbaikan dirinya. Pemimpin yang dewasa dan matang secara emosional akan menyadari bahwa kesuksesan adalah hasil dari sebuah kerja sama.
Maka dalam menjalankan tugas kepemimpinan, pemimpin yang memiliki stabilitas emosional dan kedewasaan akan berupaya melakukan kolaborasi. Ratu Elizabeth II menegaskan:Â
"Tidak ada formula tunggal untuk mencapai kesuksesan. Selama bertahun-tahun saya mengamati bahwa beberapa atribut kepemimpinan bersifat universal dan sering kali mengenai cara-cara mendorong orang untuk menggabungkan upaya mereka, bakat mereka, wawasan mereka, antusiasme mereka dan inspirasi mereka untuk bekerja bersama".
Motivasi Kekuasaan
Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa orientasi kekuasaan tersosialisasi lebih cenderung menghasilkan kepemimpinan yang efektif daripada orientasi kekuasaan yang dipersonalisasi (Boyatzis, 1982; House, Spangler, & Woycke, 1991; McClelland & Boyatzis, 1982; McClelland & Burnham, 1976). Model kepemimpinan seseorang, tergantung dari bagaimana motivasi dimiliki seseorang pemimpin.
Dalam menjalankan tugas kempempinannya, Ratu Elizabet II adalah sosok pemimpin yang melayani. Motivasi untuk melayani ini menjadi dasar yang kuat dan tercermin dalam tugas kepemimpinannya.
Dalam pernyataanya, beliau mengunkapkan bahwa dirinya tidak memiliki motivasi untuk berkuasa, melainkan motivasi untuk melayani. Elizabeth II mengatakan hal ini pada upacara penobatannya menjadi Ratu:
"Upacara penobatan ini, bukan merupakan simbol kekuatan dan kemegahan, tetapi dengan Rahmat dan Belas kasih Tuhan, saya berharap dapat memerintah dan melayani Anda sebagai Ratu Anda".
Elizaberth pun menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin harus menghindari motivasi agar mendapatkan penghargaan atau pujian dari banyak orang.