Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merajut Kebersamaan, Seturut Terang Filsafat Eksitensialisme Gabriel Marcel

1 September 2022   11:07 Diperbarui: 1 September 2022   11:56 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Manusia adalah makluk sosial yang ada bersama dengan yang lain. Dalam hidup bersama, baik itu dalam komunitas, keluarga atau masyarakat, manusia selalu mengharapkan hidup yang tentram, damai dan sejahtera. Namun dalam kenyataannya manusia sering melupakan jati dirinya sebagai makluk sosial dan menggangap keberadaan orang lain sebagai musuh atau saingan dalam hidupnya.

Secara kasat mata (baca: struktural) kita melihat bahwa memang kita ini hidup bersama dalam satu negara yang namanya Indonesia, namun apabila diamati secara lebih mendalam, kita dapat menemukan bahwa masih ada banyak orang yang hidupnya tidak dijiwai oleh semangat kebersamaan. Hal ini misalnya ditandai dengan adanya sikap egoisme dan merasa diri lebih hebat atau paling benar jika dibandingkan dengan yang lain.

Di tengah kemerosotan hidup seperti ini, ide-ide filosofis Gabriel Marcel tampil sebagai suara sang nabi yang ingin menyadarkan manusia akan eksistensi hidupnya sebagai makluk sosial. 

Filsuf kelahiran Paris, 7 Desember 1889 menyelesaikan pendidikan menengah di Lyce'e Carnot, pada tahun 1905-1906. Saat ia melanjutkan studinya, pada waktu itu berkembang dua aliran besar yang sangat bertentangn yakni aliran positivisme dan idealisme. Kedua aliran inilah yang mulai mempengaruhi pemikirannya.[1] 

Selama hidupnya, Marcel mendapat banyak penghargaan baik yang berasal dari dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri. Hadiah yang diterimanya antara lain adalah memperoleh Hadiah Sastra Prancis (1949), Hadiah Goethe dari kota Hamburg (1956), Hadiah Perdamaian dari Perhimpunan Toko Buku Jerman (1956) dan hadiah Erasmus dari Negeri Belanda pada tahun 1964.[2] 

Kebersamaan Sebagai Relasi Intersubjektif

Hidup dalam kebersamaan harus menunjukan relasi yang baik antar sesama. Relasi yang demikian disebut sebagai relasi intersubjektif. Gabriel Marcel mengemukakan bahwa intersubjektif merupakan keterbukaan aku sebagai subyek kepada orang lain yang juga adalah subyek yang lain. Eksistensi hidup seseorang tidak akan berarti apabila tidak ada orang lain. Seorang manusia harus bisa menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Maka, bagi Marcel, intersubjektivitas merupakan suatu bentuk persekutuan atau ikatan antar-pribadi (S-S) yang melampaui batas-batas objektif.[3]

Relasi intersubjektif dapat mendorong seseorang untuk berusaha keluar dari keegoisan dirinya dan menggerakannya menjadi pribadi yang penuh cinta. Di sini cinta dipahami sebagai kemauan seseorang untuk secara terus menerus berusaha keluar dari keegoisan diri dan terarah kepada orang lain.[4] Maka, supaya menjadi pribadi yang penuh cinta, hal pertama yang harus dimiliki adalah bersedia untuk menerima sesama sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila seseorang memiliki sikap egois, maka ia akan sangat sulit untuk membuka diri, dan bisa menerima serta mengakui keberadaan orang lain. Sebaliknya dalam relasi interpersonal, aku mengakui orang lain sebagai subyek seperti diriku sendiri.

Hubungan antara aku-engkau, sungguh terasa apabila masing-masing subyek saling mendekatkan diri dan saling memahami untuk membangun suatu "communio" dalam kebersamaan yang sungguh-sungguh kopmunikatif. Kehadiran aku dan kau yang melebur menjadi kita merupakan buah rohani intersubjektif yang terjalin atas dasar cinta.

Menurut Marcel, relasi intersubjektif hanya bisa terjadi apabila ada pertemuan dua subjek atau pribadi yang tertarik satu sama lain untuk menjalin ikatan tertentu di antara mereka. Pertemuan atau kehadiran ini direalisasikan secara istimewa dalam relasi cinta karena hanya melalui cinta kita dapat mengakui eksistensi orang lain sebagaimana kita adanya.

Agar dapat hidup, manusia harus membentuk jalinan relasi dengan sesamanya. Tanpa kebersamaan dengan orang lain, manusia tidak akan hidup. Hidup bersama merupakan bentuk yang paling nyata dar suatu hubungan intersubjektif. Relasi intersubjektif ini mengungkapkan kesediaan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk bersatu dengan yang lain. 

Supaya kita dapat menjalin relasi intersubjektif dengan yang lain, maka kita dituntut untuk bersedia atau rela membuka diri bagi orang lain. Selama kita masih tertutup oleh kedirian kita, maka mustahil suatu relasi akan terwujud.

Manusia akan tetap menjadi dirinya apabila ia tetap mempertahankan ke-aku-annya. Tetapi sebaliknya jika ia memiliki keterbukaan untuk menerima orang lain sebagai bagian dari dirinya, maka "kita" akan terwujut. Keterbukaan, kesediaan dan kerelaan untuk menerima orang lain akan menunjukkansiapa eksistensi diri kita bahwa manusia adalah makluk sosial yang selalu hidup bersama dengan yang lain.[5]

Doa bersama mewakili agama dan etnis, sebelum pemotongan tumpeng sebagai simbol kebersamaan (Dokpri)
Doa bersama mewakili agama dan etnis, sebelum pemotongan tumpeng sebagai simbol kebersamaan (Dokpri)

Demi suatu kebersamaan diperlukan kesediaan dari masing-masing subyek untuk mengikat dirinya dan saling melibatkan diri dalam hidup partnernya (engangement). Mengikat diri di sini bukan berarti bahwa membatasi kebebasan kita. Kesediaan mengikat diri untuk berpartisipasi dalam hidup bersama merupakan suatu tindakan bebas. Kebebasan itu tergantung dari pribadi kita, apakah kita mau mengikat diri untuk mencintai orang lain atau tidak.[6]

Dalam hidup bersama selalu dituntut kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya. Kesetiaan berarti melawan egoisme. Saya setia bukan selama kebutuhan saya dipenuhi oleh yang lain. Setia berarti mencintai tanpa megenal waktu. Dasar kesetiaan adalah ada kita. Aku ada untuk kau dan sebaliknya kau ada untuk aku. Kita ada untuk setiap orang karena kita masing-masing mempunyai martabat yang sama.  

Dalam hubungannya tentang kesetiaan, Gabriel Marcel menjelaskannya dengan memberikan perumpamaan tentang kesetiaan dari seorang sahabat. Marcel mengatakan bahwa sahabat sejati adalah  seorang yang tidak pernah hilang dari saya, yang menemani aku dala untung dan malang. Meskipun secara fisik ia tidak hadir, namun dalam segala kebutuhanku, sahabat yang setia bisa mengkomunikasikan kepadaku suatu perasaan dan keyakinan bahwa 'dia ada bersamaku".[7] 

Manusia dalam keterbentukannya hadir sebagai makluk yang ada bersama dengan yang lain. Merebaknya realitas konfliktual yang terus terjadi di dunia dewasa ini merupakan bukti dari lemahnya intensitas kesadaran manusia yang terjerumus dalam individualisme. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk kembali menyadari eksisisrensi hidup kita sebagai makluk sosial, bahwa kita ada karena ada orang lain (esse est co-esse).

Harus diakui bahwa kebersamaan secara struktural, misalnya dalam hidup bermasyarakat, kita tidak selamanya menjamin suatu relasi intersubjektif yang hakiki. Artinya bahwa secara hukum kita semua dari Sabang sampai Marauke, berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah 77 tahun merdeka. Namun dalam kenyataannya kita kadang masih hidup dalam keterpecahan. Bagi Marcel, yang terpenting dalam hidup bersama adalah kesediaan untuk selalu membuka diri bagi sesama sekaligus memiliki kesetiaan untuk selalu bersama dengan yang lain serta saling menghormati. Mari gaungkan lagi semangat kebersamaan yang walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.

Daftar Rujukan:

       [1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Op. Cit.,p. 66.
       [2] Ibid., pp. 68-69.
       [3] Mathias Haryadi, "Intersubjektivitas Menurut Gabriel Marcel, Martin Buber dan Jean Paul Sartre", Basis, XXXIX (Agustus, 1990), 319.
       [4] Niko Hayon, Cinta yang Mengabdi (Ende: Nusa Indah, 1987), p. 14.
       [5] Alexander Y.H. Susanto, Nabi Segala Zaman (Maumere: Ledalero, 2005), pp. 95-96.
       [6] Mathias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi : Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Op. Cit., p. 83.
       [7] Hiddin Situmorang dan Sihar Simbolon: "Jati Diri Manusia Menurit Gabriel Marcel", Basis, XXXIX (Maret, 1990), 121.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun