Agar dapat hidup, manusia harus membentuk jalinan relasi dengan sesamanya. Tanpa kebersamaan dengan orang lain, manusia tidak akan hidup. Hidup bersama merupakan bentuk yang paling nyata dar suatu hubungan intersubjektif. Relasi intersubjektif ini mengungkapkan kesediaan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk bersatu dengan yang lain.Â
Supaya kita dapat menjalin relasi intersubjektif dengan yang lain, maka kita dituntut untuk bersedia atau rela membuka diri bagi orang lain. Selama kita masih tertutup oleh kedirian kita, maka mustahil suatu relasi akan terwujud.
Manusia akan tetap menjadi dirinya apabila ia tetap mempertahankan ke-aku-annya. Tetapi sebaliknya jika ia memiliki keterbukaan untuk menerima orang lain sebagai bagian dari dirinya, maka "kita" akan terwujut. Keterbukaan, kesediaan dan kerelaan untuk menerima orang lain akan menunjukkansiapa eksistensi diri kita bahwa manusia adalah makluk sosial yang selalu hidup bersama dengan yang lain.[5]
Demi suatu kebersamaan diperlukan kesediaan dari masing-masing subyek untuk mengikat dirinya dan saling melibatkan diri dalam hidup partnernya (engangement). Mengikat diri di sini bukan berarti bahwa membatasi kebebasan kita. Kesediaan mengikat diri untuk berpartisipasi dalam hidup bersama merupakan suatu tindakan bebas. Kebebasan itu tergantung dari pribadi kita, apakah kita mau mengikat diri untuk mencintai orang lain atau tidak.[6]
Dalam hidup bersama selalu dituntut kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya. Kesetiaan berarti melawan egoisme. Saya setia bukan selama kebutuhan saya dipenuhi oleh yang lain. Setia berarti mencintai tanpa megenal waktu. Dasar kesetiaan adalah ada kita. Aku ada untuk kau dan sebaliknya kau ada untuk aku. Kita ada untuk setiap orang karena kita masing-masing mempunyai martabat yang sama. Â
Dalam hubungannya tentang kesetiaan, Gabriel Marcel menjelaskannya dengan memberikan perumpamaan tentang kesetiaan dari seorang sahabat. Marcel mengatakan bahwa sahabat sejati adalah  seorang yang tidak pernah hilang dari saya, yang menemani aku dala untung dan malang. Meskipun secara fisik ia tidak hadir, namun dalam segala kebutuhanku, sahabat yang setia bisa mengkomunikasikan kepadaku suatu perasaan dan keyakinan bahwa 'dia ada bersamaku".[7]Â
Manusia dalam keterbentukannya hadir sebagai makluk yang ada bersama dengan yang lain. Merebaknya realitas konfliktual yang terus terjadi di dunia dewasa ini merupakan bukti dari lemahnya intensitas kesadaran manusia yang terjerumus dalam individualisme. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk kembali menyadari eksisisrensi hidup kita sebagai makluk sosial, bahwa kita ada karena ada orang lain (esse est co-esse).
Harus diakui bahwa kebersamaan secara struktural, misalnya dalam hidup bermasyarakat, kita tidak selamanya menjamin suatu relasi intersubjektif yang hakiki. Artinya bahwa secara hukum kita semua dari Sabang sampai Marauke, berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah 77 tahun merdeka. Namun dalam kenyataannya kita kadang masih hidup dalam keterpecahan. Bagi Marcel, yang terpenting dalam hidup bersama adalah kesediaan untuk selalu membuka diri bagi sesama sekaligus memiliki kesetiaan untuk selalu bersama dengan yang lain serta saling menghormati. Mari gaungkan lagi semangat kebersamaan yang walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.
Daftar Rujukan:
    [1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Op. Cit.,p. 66.
    [2] Ibid., pp. 68-69.
    [3] Mathias Haryadi, "Intersubjektivitas Menurut Gabriel Marcel, Martin Buber dan Jean Paul Sartre", Basis, XXXIX (Agustus, 1990), 319.
    [4] Niko Hayon, Cinta yang Mengabdi (Ende: Nusa Indah, 1987), p. 14.
    [5] Alexander Y.H. Susanto, Nabi Segala Zaman (Maumere: Ledalero, 2005), pp. 95-96.
    [6] Mathias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi : Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Op. Cit., p. 83.
    [7] Hiddin Situmorang dan Sihar Simbolon: "Jati Diri Manusia Menurit Gabriel Marcel", Basis, XXXIX (Maret, 1990), 121.