Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka dan Dilema Kebebasan Siswa dalam Berpakaian

6 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 9 Agustus 2022   08:41 2358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana belajar di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan (Dokpri)

Ada dua kasus yang sering ramai diperbincangkan berkaitan dengan pakaian (seragam) atau atribut yang dikenakan oleh siswa di sekolah. Kasus pertama adalah soal pemaksaan pemakaian jilbab. Kasus kedua adalah mahalnya pungutan dari pihak sekolah untuk biaya seragam siswa. 

Terhadap dua kasus ini, terlintas dua pertanyaan spontan, pertama: apalah artinya kurikulum merdeka, jika masih ada siswa yang dipaksa memakai jilbab? 

Kedua: apakah kurikulum merdeka juga bisa memberikan peluang kebebasan para siswanya untuk tidak berseragam dalam mengikuti pelajaran, sehingga dapat mengatasi persoalan mahalnya pungutan uang seragam?  Mari kita kupas satu persatu.

Apalah artinya kurikulum merdeka, jika masih ada siswa yang dipaksa memakai jilbab?

Kasus pemaksaan pemakaian jilbab bagi peserta didik kembali terjadi. Baru-baru ini, tepatnya tanggal 26 Juni 2022, ada dugaan telah terjadi pemaksaan pemakaian jilbab dari seorang guru BK kepada seorang siswa SMAN 1 Banguntapan-Bantul-Yogyakarta. 

Kasus ini bukan baru saja terjadi, sekalipun pemerintah sudah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di sekolah.

Dalam Permendikbud Nomor 45, Pasal 1, ayat 4, Tahun 2014, sudah jelas dikatakan bahwa pakaian seragam khas muslimah, dalam hal ini jilbab merupakan pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.

Menanggapi kasus ini, Rektor IAIN Metro, Siti Nurjanah, menilai bahwa kasus pemaksaan jilbab di sekolah dapat menimbulkan potensi intoleransi dan diskriminasi yang pada akhirnya melahirkan sikap radikalisme yang mengancam persatuan bangsa. 

Bagi Siti Nurjanah, kasus seperti ini akan dapat menimbulkan konflik internal agama maupun antar agama.

Ilustrasi (Sumber: Kompas.id)
Ilustrasi (Sumber: Kompas.id)

Apabila seorang guru muslim memaksa siswanya yang muslim mengenakan jilbab maka akan menimbulkan konflik internal antara siswa secara pribadi dengan gurunya. 

Maka yang perlu diperhatikan adalah soal komunikasi yang baik untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang pentingnya menggunakan jilbab. Titik persoalannya adalah adanya "pemaksaan".

Di lain pihak, apabila seorang guru muslim memaksa siswa non-muslim mengenakan jilbab, maka akan dapat menimbulkan konflik antar agama. 

Sayang sekali jika kasus seperti ini masih tetap terjadi di negara yang mengakui keragaman agama dan menjamin kebebasan bagi setiap warganya untuk mengekspresikan imannya sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Justru yang harus digaungkan saat ini adalah model pendidikan yang ingin memperkuat moderasi beragama melalui pembentukan sikap, perilaku, dan cara pandang yang baik. Siswa perlu didik untuk bertindak adil, memiliki sikap toleran, tidak ekstrim dalam beragama dan menghindari paham radikalisme.

Beberapa siswa yang mengenakan jilbab maupun tidak, sedang belajar bersama (Dokpri)
Beberapa siswa yang mengenakan jilbab maupun tidak, sedang belajar bersama (Dokpri)

Bolekah Siswa Tidak Berseragam ke Sekolah?

Ada beberapa pertimbangan mengapa sekolah-sekolah formal di negara kita mewajibkan para siswa untuk mengenakan seragam ketika mengikuti KBM di sekolah. 

Alasan dan pertimbangan nilai-nilai positif yang dapat diperoleh jika siswa mengenakan seragam ke sekolah antara lain adalah:

Pertama, dapat membedakan jenjang pendidikan. Dengan melihat seragam sekolah, seseorang dengan mudah membedakan apakah siswa tersebut berada ditingkat SD, SMP atau SMA.

Kedua, melatih kedisiplinan siswa. Kedisiplinan siswa dapat dilatih dengan membiasakan siswa dalam mengenakan seragam dan atribut sekolah.

Ketiga, meningkatkan rasa persatuan. Ketika bersama-sama menggunakan seragam, para siswa akan merasa berada dalam satu kelompok atau jenjang tertentu. Misalnya, kalau mengenakan seragam putih-merah berarti sama-sama SD, walaupun berasal dari sekolah yang berbeda.

Keempat, identitas sekolah. Selain seragam nasional, sekolah juga memiliki seragam atau atribut khusus yang menunjukkan kekhasan masing-masing sekolah. Hal ini bisa dengan muda orang membedakan indentitas sekolah dari siswa. Selain itu dapat memupuk rasa bangga dan cinta terhadap almamater.

Kelima, menghindari kesenjangan sosial. Jika semua siswa berseragam dalam berpakaian, maka kesenjangan sosial antara siswa dengan kelas sosial tinggi dengan siswa dengan kelas sosial menengah dan bawah, dapat teratasi.

Keenam, membentuk profesionalisme. Dalam dunia kerja dan perkantoran, banyak instansi mewajibkan mengenakan pakaian seragam bagi setiap anggota atau pekerja. Maka dengan memakai seragam di sekolah, para siswa sudah diperkenalkan dengan dunia pekerjaan.

Inilah beberapa pandangan, mengapa siswa perlu mengenakan seragam. Namun di balik nilai-nilai positif tersebut, persoalan tentang seragam sekolah sering menjadi headline dalam media online, setiap kali memasuki tahun ajaran baru. Persoalah tersebut adalah mahalnya biaya seragam sekolah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Beberapa contoh, Kompas.com pada tanggal 3 September 2021 memuat berita yang berjudul "Penghasilannya Cuma Rp 2,5 Juta Disuruh Beli Seragam Rp 1,3 Juta, Ya Habis Uangnya". Selain itu, Jawa Pos-RadarSemarang.Id, pada tanggal 8 Juli 2022, memuat berita "Wali Murid Harus Siapkan Rp 3 Juta untuk Seragam Sekolah".

Menyikapi persoalan mengenai mahalnya seragam sekolah, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pernah meminta kepada sekolah untuk tidak mewajibkan seragam bagi peserta didik. Menurut Ganjar, seragam sekolah tidak perlu wajib karena dinilai memberatkan orangtua siswa, terutama yang kurang mampu.

Hal ini disampaikan Ganjar usai memberi arahan kepada pejabat dilingkungan Pemkab Banjarnegara, sebagaimana dilansir dari Detik.com (6/9/2021).

Bagi Ganjar, seragam tidak menjadi acuan seorang siswa untuk berprestasi. Ia kemudian membagikan kisahnya bahwa ia pernah memiliki teman sekolah yang tidak berpakaian seragam, tidak potong rambut, tetapi pintar dan penuh kreativitas. Tidak tahu sekolah mana yang dimaksud. Tetapi saya pernah punya pengalaman mengunjungi sebuah sekolah, seperti yang diceritakan Ganjar, yakni Sekolah Mangunan Jogja.  

Ketika berkunjung ke sana, terlihat beberapa siswa yang mengikuti pelajaran olahraga begitu bebas bermain di lapangan, tanpa mengenakan seragam olahraga. 

Ternyata bukan hanya di lapangan. Di dalam kelas pun, siswa tidak mengenakan seragam saat mengikuti pelajaran. Berpakaian bebas atau tanpa seragam sekolah tidak menghalangi siswa untuk mengukir prestasi. Banyak mahasiswa peneliti yang datang ke sekolah ini untuk menimba pengetahuan.

Suasana belajar di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan (Dokpri)
Suasana belajar di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan (Dokpri)

Contoh lain, SMA Kolose De Britto, juga menerapkan hal yang sama. Sekolah unik yang berada di daerah Sleman, Yogyakarta ini pun memperbolehkan siswanya berpakaian bebas atau tidak berseragam sekolah. 

Sekolah yang menerima siswa laki-laki ini, memperbolehkan siswanya berambut grondrong, dan tidak perlu bersepatu. 

Sekolah Swasta Katolik yang berdiri sejak tahun 1948 tersebut, memiliki semangat kebebasan untuk menjadi pribadi yang bebas. 

Kebijakan ini sengaja dibuat oleh sekolah sejak awal pendiriannya agar mendidik siswa dalam mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada diri sendiri, sesama, maupun Tuhan.

Dengan tidak memakai seragam sekolah, bukan berarti siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah ini jauh dari kedisiplinan dan prestasi belajar. 

Sekolah yang menerapkan model pembelajaran 1L 5C (Leadership, Competen, Conscien, Compation, Consistent dan Comitment Leadership), menjadi salah satu sekolah unggulan di Yogyakarta yang banyak diminati para pelajar karena segudang prestasinya. 

Dikutip dari Kompas.com (16/05/22), SMA Kolose De Britto berada di jejeran 20 besar SMA Terbaik dan Sekolah Swasta Terbaik (urutan 1) di DIY.   

Kembali ke pertanyaan awal dari artikel ini. Pertama: apalah artinya kurikulum merdeka, jika masih ada siswa yang dipaksa memakai jilbab? Kedua: apakah kurikulum merdeka juga bisa memberikan peluang kebebasan para siswanya untuk tidak berseragam dalam mengikuti pelajaran, sehingga dapat mengatasi persoalan mahalnya pungutan uang seragam?

Mari kita semua menjawabnya, karena pertanyaan ini bukan ditujukan pada rumput yang bergoyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun