Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Meredam Budaya Pesta untuk Investasi Biaya Kuliah Anak

30 Juli 2022   10:37 Diperbarui: 2 Agustus 2022   15:49 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, setelah melewati liburan panjang saya kembali membuka Sistem Informasi Akademik (SIAKAD). Pada laman Dasboard terdapat tulisan "Anda belum membayar". Setelah scroll ke laman E-Office, saya mendapatkan surat cinta dari universitas tentang jadwal kegiatan akademik semester baru. 

Seperti biasa, jadwal pembayaran UKT selalu berada di urutan pertama. Dapat diibaratkan, sebelum orang memulai langkah pertama, ia tentu tidak akan melanjut pada langkah kedua, tiga dan seterusnya.

Artinya, sebelum seorang mahasiswa membayar UKT, tentu ia tidak bisa melakukan KRS, apalagi mengikuti perkuliahan dan akhirnya ujian.

Dokpri
Dokpri

Sebagai mahasiswa jalur mandiri, saya harus membayar Rp. 10.000.000 untuk UKT semester gasal ini. Itu pun karena saya termasuk mahasiswa lama yang masuk tahun sebelumnya.

Ketika mencari informasi UKT mahasiswa baru (angkatan 2022), ternyata mengalami kenaikan sebesar Rp. 3.000.000, yakni dari Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 13.000.000.

Akankah biaya kuliah ini dapat terus meningkat pada tahun-tahun mendatang?

Dokpri
Dokpri

Hasil riset Harian Kompas yang memprediksikan tentang lonjakan biaya kuliah yang tidak diseimbangi dengan pendapatan orangtua di masa yang akan datang, bisa saja akan benar-benar terjadi.

Bagi saya, yang lebih penting saat ini adalah bukan menaruh kekhawatiran pada masa depan, melainkan bagaimana mempersiapkan masa depan tersebut.

Dalam arti, kita perlu mencari solusi atau upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan biaya kuliah anak di masa depan. Tentu hal ini pun perlu mendapat perhatian dan kebijakan dari pihak pemerintah. 

Amanat undang-undang agar "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", tidak akan terimplementasi dengan baik jika dihalangi oleh tingginya biaya kuliah, khususnya bagi masyarakat kecil. 

Terlepas dari catatan kritis pada pihak pemerintah atau pemangku kebijakan, dalam ulasan kali ini saya ingin memberikan titik fokus yang perlu diperhatikan oleh masyarakat.

Tulisan senderhana ini, lebih merupakan refleksi kritis atas budaya pesta yang semakin marak terjadi akhir-akhir ini, di tanah kelahiran saya sendiri, di NTT. Apakah pesta budaya, harus dihilangkan? Apa kaitannya antara budaya pesta dengan biaya kuliah anak? Agar tidak menjadi salah tafsir antara pesta budaya dan budaya pesta, mari terlebih dahulu kita lihat perbedaan di antara keduanya!

Ilustrasi suasana pesta (Dokpri)
Ilustrasi suasana pesta (Dokpri)

Budaya Pesta vs Pesta Budaya

Dalam setiap budaya, ritual tradisional seringkali ditemukan. Ritual tradisional itu dapat berupa perayaan-perayaan budaya, pesta budaya, dan festival-festival.

Hal itu dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu, baik untuk mempersatukan masyarakat, ucapan syukur, maupun rekonsiliasi setelah terjadi keregangan/perselisihan.

Dalam pesta budaya, ada hal-hal penting yang mesti dipertunjukkan. Hal-hal tersebut antara lain, keterlibatan anggota masyarakat, penggunaan simbol-simbol budaya, ungkapan personal baik verbal maupun nonverbal. Semua itu disesuaikan dengan intensi acara adat yang dibuat. Walaupun pada umumnya, ritus yang dibuat biasanya memperkokoh kolektivitas dan kerukunan sosial.

Dalam perkembangannya, pesta budaya hampir jarang dilakukan. Hal itu lambat laun tersublimasi dalam acara-acara syukuran. Acara-acara syukuran dibuat sama seperti pesta budaya. Akibatnya, peristiwa pernikahan, peristiwa kelulusan sekolah, dan peristiwa syukur lain dibuat sama seperti pesta budaya.

Pemahaman umum ini kemudian menjalar dalam pandangan dan kebiasaan masyarakat sehingga segala jenis acara syukuran 'harus' dipestakan. Orang bahkan merasa janggal, aneh, dan malu kalau suatu peristiwa syukur tidak dipestakan. Di sini, budaya pesta akhirnya lahir.

Dalam konteks ini, fokus perhatian ada pada term 'pesta'. Term pesta umumnya diartikan sebagai sebuah acara sosial yang dimaksudkan terutama sebagai perayaan dan rekreasi. Pesta dapat bersifat keagamaan atau berkaitan dengan musim, atau, pada tingkat yang lebih terbatas, berkaitan dengan acara-acara pribadi dan keluarga untuk memperingati atau merayakan suatu peristiwa khusus dalam kehidupan yang bersangkutan. 

Ketika pesta menjadi suatu budaya, itu berarti pesta telah menjadi kebiasaan dan sedikit 'terpaksa' menjadi suatu keharusan (ada nilai keterikatan). Dengan demikian, yang diutamakan dalam budaya pesta adalah pesta itu sendiri.

Suasana Pesta (Dokpri)
Suasana Pesta (Dokpri)

Antara Pesta dan Kuliah

Walaupun secara internal (maksud dan tujuan) berbeda, pesta budaya dan budaya pesta memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan itu antara lain adalah situasi kolektif dengan kehadiran banyak orang, ada ungkapan-ungkapan personal (ucapan selamat atau syukur), dan  ada simbol-simbol yang mempersatukan. 

Selain itu, aspek eksternal yang juga dianggap penting adalah kesediaan menyantun sumbangan atau dana untuk kelangsungan acara.

Aspek finansial menjadi kategori terakhir yang menarik jika diteliti, sebab banyak kalangan berpendapat pesta yang telah menjadi budaya telah menimbulkan pemborosan ekonomi.

Secara ekonomis, sudah jelas bahwa pesta yang dilakukan tentu membutuhkan banyak uang. Kisaran pengeluaran dalam sekali pesta diperkirakan antara puluhan hingga ratusan juta rupiah. 

Alangkah lebih baik jumlah pengeluaran yang begitu besar bisa dialihkan untuk pendidikan anak (ditabung) atau menjadi investasi biaya kuliah anak, sedangkan acara syukuran atau selamatan bisa disederhandakan.

Mari meredam budaya pesta untuk investasi biaya kuliah anak. Bersikaplah ugahari saat ini, demi kebahagiaan anak di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun