Aktivitas-aktivitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijaksanaan pendidikan, baik yang formal maupun yang tidak formal. Warna rumusan kebijaksanaan tersebut sangat tergantung seberapa besar para peserta dapat memainkan peranannya masing-masingdalam memformulasikan kebeijaksanaan.Â
Dengan demikian, rumusan kebijaksanaan adalah karya group, baik group yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka saling mengintervensi, saling melobi bahkan saling mengadakan bargaining.Â
Suatu kebijaksanaan pendidikan dapat selesai ketika disahkan oleh peserta perumusan kebijaksanaa formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan, atau berupa undang-undang, dan peraturan pemerintah.
Rumusan kebijaksanaan menurut Imron, Ali (2012) mempunyai 2 aspek penting. Pertama, rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan tidak mejelaskan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusuan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan, dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang.Â
Hal ini berarti bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah banyak dihabiskan, tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu situasi saja.
Prosedur Perumusan Kebijakan
Menurut Imron, Ali (2012) ada 4 prosedur yang dilakukan untuk merumuskan kebijaksanaan, termasuk kebijaksnaan pendidikan sebagai berikut.
Pertama, perumusan masalah kebijaksanaan pendidikan (educational policy problems). Perumusan masalah kebijaksnaan tersebut sangatlah penting karena sebagian besar waktu yang dihabiskan dalam memformulasikan kebijaksanaan tersebut berada di perumusan masalah ini.Â
Kekeliruan dalam merumuskan masalah, berakibat pada langkah-langkah berikutnya, bahkan menjadi kelirunya formulasi kebijaksanaan. Karena itu harus berhati-hati, cermat dan teliti. Data-data, informasi dan keterangan yang didapat merupakan masukan dari banyak peserta, harus bisa diakomodasi secara serepresentatif mungkin.
Kedua, penyusunan agenda kebijaksanaan. Dari masalah-masalah yang dirumuskan, kemudian dipilih masalah-masalah dengan prioritas dari yang paling krusial sampai dengan yang paling tidak krusial untuk diagendakan. Pengurutan masalah dari yang krusial ke tidak krusial tersebut sangat penting karena tidak mungkin semua masalah dapat diagendakan.Â
Dengan demikian, masalah-masalah yang diagendakan tersebut dengan sendirinya haruslah masalah yang mungkin untuk diselesaikan. Ini mengingat hal-hal yang berkaitan dengan dengan kebijaksanaan tersebut berkonsekuensi logis bagi penyediaan sumber-sumber potensial baik yang bersifat manusiawi maupun non manusiawi (prasarana dan dana).
Ketiga, membuat proposal kebijaksanaan. Yang dimaskud proposal kebijaksanaan adalah serangkaian kegiatan yang arahnya adalah menyusun dan mengembangkan banyak alternatif tindakan dalam rangka memecahkan masalah kebijaksanaan.Â
Kegiatan tersebut meliputi (1) mengenali alternatif pemecahan masalah (2) mendefinisikan masalah (3) merumuskan alternatif pemecahan masalah (4) mengevaluasi masing-masing alternatifditinjau dari sudut kemungkinan dapat dilaksanakan atau tidaknya dan (5) memilih alternatif paling tepat untuk memecahkan masalah.
Keempat, pengesahan rumusan kebijaksanaan. Suatu rumusan kebijaksanaan akan dipandang final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijaksanaan formal. Pengesahan ini penting, karena sejak saat itulah dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksana kebijaksanaan.Â
Pengesahan atau yang sering dikenal dengan legalitas, adalah suatu konstitusionalisasi alternatif-alternatif pemecahan masalah terpilih yang selama ini diupayakan. Pengesahan ini penting, agar siapapun yang diiikat oleh rumusan kebijaksanaan tersebut, terikat karenanya.
Masalah yang Muncul dalam Pengesahan Rumusan Kebijaksanaan
Ketika sebuah perumusan masalah sudah terbentuk ternyata dalam pembentukan tersebut juga terdapat masalah-malsah yang timbul. Masalah-masalah yang muncul dalam pengesahan rumusan kebijaksanaan pendidikan sebagai berikut.
Pertama, Pembuat kebijaksanan kurang mengusai pengetahuan, informasi, keterangan dan persoalan-persoalan baik yang bersifat konseptual maupun substansinya.
Kedua, sumber acuan para pembuat kebijaksanaan baik yang formal maupun tidak formal, berbeda-beda. Oleh karena itu, maka kompromi atau jalan tengah seringkali diambil sebagai alternative untuk mengakomodasinya. Kompromi-kompromi demikian lazim dilakukan, agar kebijaksaan dapat dirumuskan sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dapat menjadikan rumusan-rumusan kebijkasaan tersebut mengambang.
Ketiga, kurangnya informasi dan terlalu banyaknya informasi juga bisa berakibat tidak jelasnya statement kebijaksanaan. Karena kurangnya informasi menjadikan penyebab persoalan-persoalan dan alternative yang dipilih menjadi terlalu sederhana. Sementara terlalu banyaknya informasi, para peumus duhadapkan kesulitan ketika bermaksud mensintesiskan persoalan dan alternatif yang dipilih.    Â
Merumuskan Analisis Kebijakan Pendidikan
William Dunn dalam buku tentang Analisis Kebijakan Publik, menjelaskan ada 8 langkah dalam merumuskan suatu pembuatan analisis kebijakan pendidikan.Â
Berbeda dengan analisis yang dijelaskan oleh Imron, Dunn menarik  dari masalah yang sangat besar dan mengelompokkannya. Dari Meta Masalah, Masalah Subtantif, Masalah Formal dan Sutuasi Masalah. Di tengah 4 pengemlompokan tersebut terdapat penyelesaian yang lebih rinci yaitu pendefinisian masalah, spesifikasi masalah, pengenalan masalah dan pencarian masalah.
Dalam perpindahan dari meta masalah ke masalah sunstantif, analisa berusaha untuk mendefinisikan suatu masalah dalam istilah yang paling mendasar dan umum.Â
Analisis dapat menentukan apakah masalah itu adalah masalah ekonomi, sosial, atau ilmu politik. Jika masalah substantifnya dikonsepkan sebagai masalah ekonomi, analisis akan memperlakukannya dalam ketentuan factor-faktor yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang dan jasa. Sebagai contoh, harga pasar menentukan biaya dan manfaat program-program publik (Dunn, William, 2003).
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa meta problem menurut Dunn adalah masalah utama yang perlu dipecahkan, dimana pada fase tersbeut peneliti harus merepresentasikan masalah-maslah yang masih abstrak. Kemudian menuju masalah substansif, dimana pada fase ini Dunn menjelaskan, kita bisa mengelompokkan atau mengkategorikan substansi manakah yang sesuai.Â
Bisa termasuk ekonomi, sosial dan ilmu politik. Kemudian lanjut pada masalah formal dimana kita sudah mengetahui satu permasalahan tersebut. Misalnya masalah ekonomi, kita harus bisa mendefinisikan masalah dalam kegiatan ekonomi seperti factor-faktor produksi dan dan distribusi barang maupun jasa. Sebaliknya jika termasuk maslaah sosial maupun politik kita harus mampu mengenai distribusi kekuasaan maupun kontribusi kaum elit.
Jadi dari formulasi permasalahan tersebut bisa dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan sebuah masalah, kita harus mencari persoalan pokok dari masalah tersebut. Kemudian diuraikan kepada sub bab atau substansi yang ada di dalamnya, sehingga kita bisa menemukan masalah yang sebenarnya dan menentukan kebijakan baru untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H