Siswa cerdas istimewa adalah siswa dengan IQ yang tinggi (Feldhusen, 2005; Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001). Kebijakan ini kemudian mendatangkan pro-kontra yang pada akhirnya dihapus kembali.
Maka, jika masih ada sekolah yang menerapkan pembagian rombongan belajar berdasarkan kepintaran sisiwa, sebenarnya tidak relevan lagi karena merupkan tradisi lama yang sudah dievaluasi dan diperbaharui.
Beberapa ahli berpendapat bahwa pengelompokan siswa (rombel) berdasarkan tingkat kepintaran, memang dibutuhkan.
Ofianto (2015) berpendapat bahwa setiap anak seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin.
Lebih lanjut, Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menyatakan anak didik berbakat intelektual sebenarnya sama dengan anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan, misalnya gangguan penglihatan, buta, tuli, kesulitan belajar, dan keterbelakangan mental, di mana mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan potensinya.
Maka, siswa yang pintar diperlukan layanan pendidikan khusus yang dapat memungkinkan kebutuhan tersebut terpenuhi.
Barbara Clark (1983: 132-134) menyatakan ada beberapa alasan pentingnya diberikan layanan kepada anak berbakat intelektual, antara lain:
1) Lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung berkembangnya kapasitas atau potensi seseorang.
2) Pendidikan yang memperlakukan secara sama untuk semua siswa adalah pendidikan yang telah mengingkari adanya hak perkembangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat intelektual.
3) Memberikan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat intelektual seperti halnya mereka yang memiliki keterbatasan.
Dan, 4) diharapkan dengan fasilitas yang ada maka potensi anak akan terkelola secara maksimal.