Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Prank" pada Peserta Didik untuk Menerapkan Prinsip "Non scholae, sed vitae discimus"

16 Juni 2022   11:04 Diperbarui: 18 Juni 2022   07:04 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: Dokpri)

Non schole, sed vitae discimus, merupakan ungkapan dalam bahasa Latin yang berarti "Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup". 

Pepatah dari filsuf Seneca ini secara sederhana dapat dipahami sebagai ajakan bagi siapapun yang ingin mengenyam pendidikan untuk tidak hanya mengejar nilai (kuantitatif-angka) atau peringkat (ukuran prestasi). Tujuan pendidikan yang hendaknya dikejar adalah nilai kehidupan.

Seruan kritis pujangga Romawi yang hidup tahun 4 SM-65M ini tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi juga aktual hingga zaman ini. Catatan kritis yang tertuang dalam Buku Epistulae Morales ad Lucilium ini, juga menjadi catatan reflektif bagi dunia pendidikan kita di zaman milenial ini.

Sudah cukup lama, kita dininabobokan oleh sistem kurikulum pendidikan yang seakan mengkondisikan kita untuk terjebak dalam prinsip "sekolah supaya bisa tahu banyak dan akhirnya memiliki nilai/IP yang tinggi". 

Jika hal itu sudah kita dapatkan, maka kita layak digolongkan sebagai siswa/mahasiswa yang berprestasi akademik. Maka sejak pendidikan usia dini, anak-anak sudah diarahkan untuk memiliki nilai yang tinggi di rapor. Bahkan sampai di tingkat perguruan tinggi, yang dicari oleh sebagian mahasiswa adalah memiliki Indeks Prestasi (IP) yang tinggi.

Orangtua akan sangat merasa kecewa jika pada setiap acara penerimaan rapor, anak-anak mereka tidak mendapatkan peringkat kelas. Nilai yang tinggi juga menjadi salah satu kriteria seorang anak bisa diterima melanjutkan pendidikan di sekolah unggul atau perguruan tinggi ternama. Demikian pula beberapa perusahaan atau tempat kerja juga mencantumkan kriteria IP dalam rekrutmen tenaga kerja baru.

Hal yang disebutkan di atas tentu tidak sepenuhnya salah karena nilai merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan suatu proses pendidikan. Menjadi tidak benar, jika hal tersebut tidak diimbangi dengan tujuan pendidikan yang sesungguhnya yakni demi hidup itu sendiri. 

Tujuan Pendidikan Nasional yang telah tertuang dalam Undang-undang No 2 Tahun 2003, juga telah menegaskan tentang hal itu. Namun sayangnya hal ini belum sepenuhnya disadari dan dilaksanakan. Menekankan prestasi, mengejar nilai dan peringkat dan mengabaikan ketrampilan dan nilai-nilai kehidupan, masih menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Ilustrasi (Foto: Dokpri)
Ilustrasi (Foto: Dokpri)

Hal yang bisa dilakukan 

Pada bagian ini saya ingin mensharingkan pengalaman pribadi dalam menerapkan ungkapan "non schole, sed vitae discimus" bagi perserta didik. Dua hal yang saya lakukan ini adalah untuk menghilangkan prinsip bahwa "belajar itu untuk mendapat nilai". Karena trik ini dilakukan secara tiba-tiba dan membutuhkan kesiapan dari para peserta didik, maka hal tersebut dapat diibaratkan seperti "prank" dalam arti positif. Adapun hal yang saya lakukan adalah sebagai berikut:

Pertama: mengadakan ulangan atau tes dengan tidak menjadwalkannya terlebih dahulu

Kadang para siswa dan mahasiswa memiliki kecenderungan belajar hanya pada saat mendekati ujian atau ulangan. Prinsip ini membelokan tujuan belajar yakni pada pencarian nilai atau belajar supaya bisa lulus. Orang yang memiliki prinsip bahwa belajar adalah untuk hidup akan selalu meluangkan waktunya untuk terus belajar, sekalipun tidak diberitahu akan ada ujian atau ulangan.

Mengadakan ulangan yang tidak dijadwalkan sebelumnya, dengan sendirinya mengajak para peserta didik untuk selalu dalam keadaan siap. Sikap berjaga-jaga (vigilantia) terus digemakan pada para peserta didik sehingga jika terjadi ulangan secara tiba-tiba maka mereka pun sudah dalam keadaan siap. 

Jika kita berpikir lebih jauh, maka sebenarnya ujian hidup yang dialami seseorang, tidak pernah dijadwalkan sebelumnya. Hanya orang yang dalam keadaan siap sedia, yang bisa menghadapi ujian hidup dengan baik.

Kedua: tidak memberikan nilai setelah mengadakan ulangan atau tes

Kembali pada prinsip umum yang sebenarnya salah bahwa belajar dan mengikuti ulangan atau ujian dilakukan hanya untuk mendapatkan nilai. Ketika mengetahui akan ada ulangan atau ujian, ada yang belajar menggunakan Sistem Kebut Semalam (SKS), atau menggunakan sistem hafalan dan lain-lain. 

Setelah ujian dan sudah mendapatkan nilai, maka apa yang dihafalkan atau yang hanya dipersiapkan beberapa waktu sebelumnya, kadang hilang begitu saja. Namun bagi mereka, itu tidak masalah karena yang terpenting nilai sudah dicatat oleh guru atau dosen. Lagi-lagi, prinsipnya yang penting dapat nilai.

Untuk menghilangkan stigma ini maka kadang saya tidak sengaja tidak memberikan nilai setelah mengadakan suatu ulangan. Namanya "prank" maka hal ini tidak akan diketahui sebelumnya dan tidak dilakukan sesering mungkin. Praktisnya, seperti ulangan pada umumnya, para peserta didik diberikan soal dan mereka menjawab soal-soal tersebut sebagaimana lazimnya mengadakan ulangan.

Mereka akan mengerjakan dengan serius dan berusaha menjawab soal-soal itu dengan baik supaya mendapat nilai yang tinggi. Namun setelah selesai ulangan sesuai dengan durasi waktu yang sudah ditentukan, maka saya menyampaikan bahwa hasil pekerjaan tersebut tidak perlu dikumpulkan dan diambil nilai. Saya mempersilakan para peserta didik untuk mengukur sendiri sejauh mana pemahamannya terhadap suatu materi yang diujikan. Siswa bisa membandingkannya dengan hasil pekerjaan teman lain.

Ilustrasi (Foto: Dokpri)
Ilustrasi (Foto: Dokpri)

Itulah beberapa "prank" yang pernah saya lakukan untuk mengajak para peserta didik menyadari bahwa sekolah atau belajar pertama-tama bukan untuk mengejar nilai yang tinggi melaikan untuk menyiapkan hidup masa depan yang baik. Tentunya jadwal ulangan atau ujian yang sudah ditetapkan oleh satuan pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun