Non schole, sed vitae discimus, merupakan ungkapan dalam bahasa Latin yang berarti "Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup".Â
Pepatah dari filsuf Seneca ini secara sederhana dapat dipahami sebagai ajakan bagi siapapun yang ingin mengenyam pendidikan untuk tidak hanya mengejar nilai (kuantitatif-angka) atau peringkat (ukuran prestasi). Tujuan pendidikan yang hendaknya dikejar adalah nilai kehidupan.
Seruan kritis pujangga Romawi yang hidup tahun 4 SM-65M ini tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi juga aktual hingga zaman ini. Catatan kritis yang tertuang dalam Buku Epistulae Morales ad Lucilium ini, juga menjadi catatan reflektif bagi dunia pendidikan kita di zaman milenial ini.
Sudah cukup lama, kita dininabobokan oleh sistem kurikulum pendidikan yang seakan mengkondisikan kita untuk terjebak dalam prinsip "sekolah supaya bisa tahu banyak dan akhirnya memiliki nilai/IP yang tinggi".Â
Jika hal itu sudah kita dapatkan, maka kita layak digolongkan sebagai siswa/mahasiswa yang berprestasi akademik. Maka sejak pendidikan usia dini, anak-anak sudah diarahkan untuk memiliki nilai yang tinggi di rapor. Bahkan sampai di tingkat perguruan tinggi, yang dicari oleh sebagian mahasiswa adalah memiliki Indeks Prestasi (IP) yang tinggi.
Orangtua akan sangat merasa kecewa jika pada setiap acara penerimaan rapor, anak-anak mereka tidak mendapatkan peringkat kelas. Nilai yang tinggi juga menjadi salah satu kriteria seorang anak bisa diterima melanjutkan pendidikan di sekolah unggul atau perguruan tinggi ternama. Demikian pula beberapa perusahaan atau tempat kerja juga mencantumkan kriteria IP dalam rekrutmen tenaga kerja baru.
Hal yang disebutkan di atas tentu tidak sepenuhnya salah karena nilai merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan suatu proses pendidikan. Menjadi tidak benar, jika hal tersebut tidak diimbangi dengan tujuan pendidikan yang sesungguhnya yakni demi hidup itu sendiri.Â
Tujuan Pendidikan Nasional yang telah tertuang dalam Undang-undang No 2 Tahun 2003, juga telah menegaskan tentang hal itu. Namun sayangnya hal ini belum sepenuhnya disadari dan dilaksanakan. Menekankan prestasi, mengejar nilai dan peringkat dan mengabaikan ketrampilan dan nilai-nilai kehidupan, masih menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.
Hal yang bisa dilakukanÂ
Pada bagian ini saya ingin mensharingkan pengalaman pribadi dalam menerapkan ungkapan "non schole, sed vitae discimus" bagi perserta didik. Dua hal yang saya lakukan ini adalah untuk menghilangkan prinsip bahwa "belajar itu untuk mendapat nilai". Karena trik ini dilakukan secara tiba-tiba dan membutuhkan kesiapan dari para peserta didik, maka hal tersebut dapat diibaratkan seperti "prank" dalam arti positif. Adapun hal yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
Pertama: mengadakan ulangan atau tes dengan tidak menjadwalkannya terlebih dahulu
Kadang para siswa dan mahasiswa memiliki kecenderungan belajar hanya pada saat mendekati ujian atau ulangan. Prinsip ini membelokan tujuan belajar yakni pada pencarian nilai atau belajar supaya bisa lulus. Orang yang memiliki prinsip bahwa belajar adalah untuk hidup akan selalu meluangkan waktunya untuk terus belajar, sekalipun tidak diberitahu akan ada ujian atau ulangan.